Sunday, October 21, 2007

Bon Dia, Senor



Perjalanan ke Timor Leste mengingatkan tentang sebuah pelajaran lama, "Jangan EsTe" (Sok Tehu). Sejak pertama kali datang di Lobato Airport, Dili, salam yang didengar adalah "Bon Dia!!" Karena seringnya mendengar salam itu, yang langsung hinggap di dalam pikiran adalah bahwa kata "Bon Dia" merupakan bahasa Porto dari "Hello!!" di dalam Bahasa Inggris. Dengan sangat PeDe, mulai kedua, dimulailah pengobralan "Bon Dia" di mana-mana. Salam pun bersambut, dan membuat level PeDe menjadi semakin bertambah. Tetapi semakin sore, kelihatannya tingkat sambutan orang untuk salam itu juga semakin bervariasi. Mulai dari yang bengong, tidak menjawab, sampai yang tertawa nyengir. Mulai muncul perasaan kurang senang dan berpikir bahwa masyarakat di Dili lebih ramah dibandingkan dengan masyarakat Liquica, karena masyarakat Dili selalu membalas salam, sedangkan masyarakat di Liquica tidak.

Tetapi demi menunjukkan keramah-tamahan produksi Indonesia, salam "Bon Dia" terus ditebar, walau sambutannya memang tetap tidak memuaskan. Apa yang salah? Mengapa keramah-tamahan tingkat tinggi yang ditunjukkan, tidak mendapatkan sambutan yang baik?

Untung bertemu dengan Yuda, pria lajang asal Kopeng, Salatiga, Jateng, yang sudah ada di Fatunao (salah satu desa di Bazartete, Distrik Liquica) selama lebih dari 2 tahun. Setelah mengajukan komplain atas tidak lakunya keramah-tamahan produksi dalam negeri, baru ngeh bahwa "Bon Dia" bukanlah "Hallo", tetapi "Selamat Pagi." Makanya salam "Bon Dia" tidak laku di siang dan sore hari, karena seharusnya "Bo Tarda".

Hari ketiga, semua keramah-tamahan produksi Indonesia terjual abiesss, Bon Dia dan Bo Tarda laku keras, sambutan atas salam selalu ramah dan meriah. Tetapi harus langsung diteruskan dengan kata "La Kompriende Porto" (Gak ngerti bahasa Porto), sebelum overload.

Ahh. Keramah-tamahan memang tidak mengenal perbedaan, selalu laku di mana-mana, bahkan di negeri yang sedang dirundung kerusuhan seperti Timor Leste.

Obrigada Barrak, Thank you very much, Terima kasih banyak,


Wednesday, October 10, 2007

Kebaktian Kesembuhan Dibatalkan


"Kebaktian Kesembuhan dibatalkan. Pak Pendeta sedang cuti karena sakit."

Tuesday, October 9, 2007

Bill Gates Miskin (?)


William Henry Gates III, atau yang biasa dikenal dengan nama Bill Gates, identik dengan kekayaan. Majalah Forbes menulis bahwa ia memiliki kekayaan sebesar US$ 59 milliar, setara dengan Rp. 531.000.000.000.000 (Ngitungnya susah, karena kalkulator di HP gak cukup, juga kalkulator 10 digit malah jadi error). Uang sebanyak itu, kalau dibelikan es cendol, bisa buat ngisi Danau Toba sampai penuh sehingga wisata di sana akan menjadi wisata renang es cendol. Pendapatan bersih Kekayaan ini didapat dari penjualan segala sesuatu yang berkenaan dengan Microsoft, yang tahun ini saja sudah meraup keuntungan bersih US$ 14 milliar.

Kaya? Wah, bukan lagi kaya, tetapi sangat kuayyyaaaa sekali! Tetapi hari ini, 10 Oktober 2007, Bill Gates kena batunya. Visanya untuk berkunjung ke Nigeria ditolak karena ia dianggap miskin!!! Bill Gates tidak bisa membuktikan bahwa ia hanya akan tinggal beberapa hari di Nigeria, dan bahwa ia sanggup mencukupi keperluan hidupnya selama berada di Nigeria. Imigrasi Nigeria menolak visanya karena khawatir "akan membebani masalah sosial dan keimigrasian negeri itu" (mengutip detik.com).

Berita ini dimuat di banyak website, sehingga kalau googling dengan mengetik "Bill Gates Nigeria Visa" akan ditemukan banyak artikel tentang peristiwa yang memalukan dan sekaligus lucu ini. Untung saja, agen travelnya, CIBT, melihat masalah ini, dan langsung memberikan garansi pertanggungan untuk Mr. Bill Gates. Dan tidak lama kemudian, pegawai Microsoft dan CIBT menunjukkan surat dari Bank yang menunjukkan bahwa Bill Gates adalah orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik.

Tentu saja berita ini mendapatkan komentar yang luar biasa dari para netter. Ada yang mengatakan bahwa seharusnya Bill Gates tidak datang dengan meminta visa, tetapi Nigeria dibeli dulu, baru dikunjungi, pasti gak ada masalah. Ada juga yang mengatakan bahwa pemerintah Nigeria pasti juengkel banget dengan Microsoft Office (bajakan) yang sering ngadat, jadi mereka membalas langsung kepada pembuatnya.

Apapun yang terjadi, ini menunjukkan bahwa tidak ada apapun yang bisa menjamin tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan bagi orang sekaliber Bill Gates. Teorinya, ia bisa degan mudah mendapatkan visa untuk masuk ke negara manapun. Tetapi di negara yang pendapatan per kapita penduduknya nangkring di urutan 165 (Indonesia berjaya di urutan 114), permohonan visanya ditolak karena ia dianggap miskin. So how?

Sinusitis Kehujanan


Kadang kala, ada waktunya saya merasa bahwa hidung saya hanya menjadi sekedar dekorasi pelengkap di wajah. Karena sinusitis, maka hidung yang seharusnya berfungsi dengan baik, kemudian malah menjadi gerbang masuknya sumber penyakit. Apalagi kalau musim kemarau atau kalau pas Gunung Semeru bersin, sinusitis di hidung juga ikut bertingkah.

Sebenarnya ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah melakukan operasi tulang hidung. Sinusitis di hidung saya adalah karena (menurut dokter) tulang hidung saya bengkok. Lobang yang sebelah menjadi menyempit dan gampang radang, yang menimbulkan infeksi. Alternatif pertama ini kurang menggiurkan bagi saya. Saya tidak mau hidung saya dipermak, dipotong, atau diamplas supaya lurus. Saya merasa walaupun banyak komedo, bentuk hidung saya sudah oke. Kalau dipermak, jangan-jangan hidung saya jadi berubah, (dan hoki juga berubah)

Alternatif yang kedua adalah memakai masker penutup hidung. Walaupun ini murah, meriah, mudah, tetapi sama sekali tidak indah. Ada beberapa kekhawatiran yang muncul di benak saya. Lha sekarang, waktu saya masih bisa terlihat senyum dan nyengir menyapa orang, masih ada beberapa yang cuek. Kalau saya pakai masker, gak ada orang yang melihat saya senyum, biar saya nyengir sampai maskernya sobek, lebih sedikit orang yang menanggapi sapaan saya. Saya juga tidak mau orang menganggap saya lari dari karantina RS Paru. Jangan-jangan begitu melihat orang pakai masker, langsung dianggap mengidap TBC, flu, atau BM kronis (Bau Mulut parah). Kekhawatiran yang lain adalah jangan-jangan ada yang menganggap saya tidak PeDe dengan wajah saya sendiri, sehingga saya harus pakai masker begitu. (Kayaknya itu sindrom para teroris. Karena gak PeDe dengan wajah, mereka pasti pakai masker, kasihan, sampai gak ingin hidup lebih lama dengan wajah yang begitu. Lebih baik mati daripada memakai wajah yang itu).

Saya bukan mau komplain, justru mau bersyukur bahwa akhirnya musim hujan tiba. Hujan mengusir debu, sehingga udara menjadi lebih bersih dan lebih bisa dinikmati. Hujan membuat keadaan menjadi lebih sejuk dan bahkan cenderung dingin. Nyaman.

Lalu bagaimana kalau hujan ternyata juga membuat orang terkena flu, pilek yang juga akan menyengsarakan penderita sinusitis? Itu nanti saja! Itu cerita lain lagi! Jangan mengingatkan akan kesengsaraan yang belum datang. Yang penting, syukuri dulu apa yang ada di depan mata. :) Orang Gerika bilang, "αρκετον τη ημέρα η κακία αυτης" (arketon te hemera he kakia autes). "Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."




Sunday, October 7, 2007

Tembok, Tembok, Tembok


Sweet seventeen!! Bulan ini, bangsa Jerman memperingati tujuh belas tahun reunifikasi (penggabungan kembali) bangsa mereka. Setelah puluhan tahun terpisah menjadi dua negara (Jerman Barat dan Jerman Timur), akhirnya pada bulan Oktober (tepatnya tanggal 3 Oktober 1990), bangsa itu menjadi satu bangsa yang utuh kembali, Jerman.

Proses penggabungan kembali itu ditandai dengan diruntuhkannya tembok yang sangat terkenal, yaitu tembok Berlin. Sebuah lambang perbedaan dan keterpisahan yang berdiri teguh selama puluhan tahun, akhirnya runtuh. Dengan robohnya tembok itu, berakhir pula masa keterpisahan dan masa pembedaan di antara bangsa Jerman.

Meski pada awalnya banyak juga pihak yang menentang (termasuk, tentu saja, pihak sponsor tembok itu, Kremlin), tetapi akhirnya sebagian besar orang bersukacita ketika tembok itu hancur. Orang berbondong-bondong datang untuk datang ke lokasi tembok berlin, untuk mengambil secuil ikon bersejarah itu. Sampai-sampai, ada yang punya naluri bisnis, menjual bongkahan batu bata bekas tembok itu sebagai souvenir. Sayangnya, seperti biasa, kalau ada souvenir asli, ada juga souvenir yang asli. Malah ada yang mengatakan bahwa kalau souvenir batu bata bekas tembok Berlin dikumpulkan, bisa untuk membangun tembok yang sama dengan ketebalam tiga kali lipat dari aslinya (hehe... Indonesia masih mendingan, CD bajakan dan teknologi tiruan. Di Jerman, bisanya cuma bikin batu bata bajakan).

Tembok memang dibuat selalu untuk memisahkan. Tembok membuat dengan jelas dapat dibedakan antara aku dengan dia. Antara kita dengan mereka. Tembok-tembok yang paling terkenal di dunia dibuat dengan tujuan yang demikian juga. Tembok China, dibuat untuk mencegah bangsa China dari musuh-musuh mereka. Tembok itu memang melindungi bangsa itu dari musuh selama beberapa abad. Tembok Hadrian, di Inggris, dibuat oleh bangsa Romawi untuk melindungi mereka dari serangan bangsa-bangsa Pitcish yang mendiami daerah Skotlandia pada masa itu.

Apapun tujuannya, dari apaun bentuknya, tembok memang dibuat untuk memisahkan. Dan hampir semua tembok dibuat karena adanya perasaan tidak aman dari yang membuatnya. (Jadi ingat, waktu kecil dulu, rumah kami gak pakai tembok sama sekali, malah gak pakai pagar juga. Semua terbuka, orang bisa lewat dari mana saja untuk masuk ke rumah. Tetapi rumah yang sekarang, ada temboknya. Whieww!!).

Tetapi tembok yang lebih sulit dimengerti adalah tembok yang tidak nampak. Orang tidak bisa melihat tembok itu, tetapi tembok itu ada di sana. Tanpa di sadari, orang sudah melanggar batas tembok itu. Tembok Atlantik, misalnya, bukanlah sebuah tembok konvensional. Tembok itu "dibuat" oleh pasukan NAZI Jerman dari rangkaian foxhole (lubang yang dijaga oleh pasukan pengintai dengan senjata mesin). Kalau ada tentara musuh datang, ia tidak akan melihat ada tembok penghalang, tetapi sebenarnya tembok itu ada di sana, menjadi pembatas antara kawan dengan lawan.

Tetapi yang paling berbahaya adalah tembok di dalam hati. Tembok prasangka, tembok curiga, tembok ekslusif. Tembok yang memisahkan antara aku dan kelompokku dengan dia, mereka dan kelompoknya. Ada beberapa perbedaan yang membuat adanya tembok itu; perbedaan fisik (suku, ras, warna kulit), perbedaan ekonomi (kaya, menengah, miskin), perbedaan intelektual (pintar-kurang pintar, perbedaan pandangan atau pendapat), perbedaan karena prasangka pribadi (suka dan tidak suka). Tembok ini tidak nampak, tetapi terbangun secara kuat di dalam hati.

Berbeda dengan tembok fisik yang dibuat seluas mungkin, (makanya kadangkala ada yang sampai bentrok gara-gara tembok pagar yang 'nyorok' ke tanah tetangga, atau negara yang bersitegang karena merasa tembok batas negara tetangga yang terlalu masuk ke wilayahnya --misalnya Indonesia dengan Malaysia), tembok di dalam hati justru dibangun sesempit mungkin. Kalau bisa, hanya ada satu orang saja, dirinya, yang ada di dalam tembok itu. Semua yang berbeda akan secara otomatis berada di luar tembok. Akibatnya, bukannya rasa aman yang muncul karena tembok hati itu, justru yang hadir adalah rasa semakin tidak aman, rasa kesepian, dan rasa terjepit oleh situasi tembok sendiri itu.

Ada orang bijak mengatakan, "Kalau engkau membangun tembok hati-hati agar engkau tidak terpenjara oleh tembok yang engkau bangun itu." Tembok hati cenderung memenjarakan seperti itu.

Ternyata bahwa tembok yang sudah dibangun, pada akhirnya akan menjadi penghalang. Setelah kondisi damai, maka tembok China hanya menjadi ikon sejarah, tembok Hadrian hanya menjadi onggokan batu, dan tembok Berlin bahkan sebagian besar sudah dirobohkan.

Jangan bertahan dengan tembok hati yang dibangun sendiri. Robohkan sebelum tembok itu menghimpit dan memenjarakan. Sebuah graffiti di tembok Berlin menuliskan demikian, "Irgendwann fällt jede Mauer" (Semua tembok akhirnya harus dirobohkan)



Thursday, October 4, 2007

Tambah Usia dan Bijaksana


Di sela-sela seru-serunya pembicaraan dalam meeting, tiba-tiba 'nature call' (kebelet ke belakang). Kalau sudah begitu, apapun topik pembicaraannya, bagaimanapun serunya, sulit untuk bisa tetap bertahan di dalam ruangan. Tidak ada lain yang bisa dilakukan kecuali angkat kaki dan permisi 'ke belakang.' (Apalagi, dokter menganjurkan agar tidak menahan dorongan untuk ke belakang yang demikian, karena bisa berakibat kurang baik bagi kesehatan .....:) )


Di 'belakang' (kalau 'ke belakang,' pasti tujuan akhirnya adalah 'di belakang'), ada cermin di dekat tempat cuci tangan. Sebagaimana normalnya naluri manusia, kalau ada cermin di depannya, dan tidak ada orang di sekitarnya, ada hasrat untuk bercermin dan agak berlama-lama. Tiba-tiba tangan saya secara reflek mengibas rambut saya, karena saya melihat ada sesuatu yang berkilat di sana. "Paling-paling debu cat tembok yang rontok," itu yang langsung terbersit. Tetapi ternyata bukan!! Jauh lebih buruk dari itu. Bagian yang mengkilat itu ternyata bagian yang berasal dari diri saya sendiri. Beberapa helai rambut saya sudah berubah warna menjadi putih!!!


Memang gejala-gejala sudah muncul cukup lama, dan bahkan kalau diperhatikan baik-baik, uban itu sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu. Saya biasa membayar anak-anak untuk mencari uban di kepala, dengan bayaran cepek untuk satu rambut. Rasanya harus segera diadakan penyesuaian harga, karena kalau sekarang mematok harga yang sama, mungkin gaji sebulan hanya cukup untuk membayar 'ganti rugi' pencabutan uban itu. Wahhh!!


Bukannya takut menjadi tua, tetapi takut nampak tua saja. (Apa bedanya? Pasti ada. Tapi nanti, dicari dulu perbedaannya). Ketuaan ternyata terjadi secara otomatis. Sekarang sudah tidak ada yang bisa menahan saya untuk masuk ke dalam masa tua. Waktu rasanya memaksa saya untuk semakin hari menjadi semakin tua.


Jadi ingat sebuah kata bijak, "menjadi tua itu otomatis, menjadi dewasa itu proses." Menjadi tua itu bukan sesuatu yang bisa diatur. Waktu masih kecil, kepengin banget cepet menjadi orang tua; rasanya enak banget, bisa ngatu-ngatur, gak usah masuk sekolah, gak usah bikin PR, bisa cari duit. Tetapi keinginan itu tetap gak bisa mempercepat diri menjadi orang tua. Sekarang, malah jadi kepengin banget kembali menjadi muda; rasanya enak banget, gak usah mikir duit, gak usah harus kerja (hehe....), gak usah cepet capek dan sakit. Tetapi keinginan itu juga tidak bisa menahan deras lajunya pertambahan usia.


Tetapi menjadi dewasa itu proses, kadangkala memerlukan waktu yang cukup panjang, dan tidak sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Meski demikian, rasanya cukup adil kalau kita mengharapkan bahwa pertumbuhan kedewasaan seseorang berbanding lurus dengan pertambahan usianya. Kalau itu yang terjadi, maka tidak akan muncul perkataan 'kekanak-kanakan.' Tentu saja, kata ini hanya berlaku untuk orang yang tua, tetapi belum dewasa. Tidak ada anak-anak yang kekanak-kanakan, karena mereka memang anak-anak yang selayaknya berlaku sebagai anak-anak. Orang tua yang bersikap seperti anak-anak, itulah yang kekanak-kanakan.


Anak-anak yang bersikap sebagai anak-anak, itu lucu dan menggemaskan. Tetapi orang tua yang masih bersikap seperti anak-anak, kekanak-kanakan, tidak ada lucunya sama sekali, dan bahkan cenderung menyebalkan. Dari orang tua diharapkan ada karakter kedewasaan yang muncul, karena itulah yang sewajarnya. Mengenai jumlah dan kualitasnya, tentu saja bisa dimaklumi kalau berbeda dengan yang lain. Tetapi, yang namanya pemakluman, pasti bukanlah sebuah kewajaran. Yang wajar, ketika orang bertambah usia (dengan ciri-ciri fisiknya), sepantasnya orang bertambah juga karakter kedewasaannya.



Cum essem parvulus loquebar ut parvulus sapiebam ut parvulus cogitabam ut parvulus quando factus sum vir evacuavi quae erant parvuli (Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu)




Monday, October 1, 2007

Mengucap Syukur Untuk Burung Garuda


Tadi malam anak-anak bertanya, "Pak, kok kita gak pasang bendera?" Wah, kagok juga menjawabnya. Memang agak sedikit (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada) yang pasang bendera pada tanggal 1 Oktober kemarin, jadinya kelupaan juga. Padahal, kemarin adalah Hari Kesaktian Pancasila, salah satu hari kebangsaan (atau mungkin lebih tepat disebut hari nasional, atau hari kebesaran, atau hari bersejarah.... gak tahu mana yang paling pas) bagi bangsa Indonesia. Tidak perlu menjelaskan apa yang diperingati di sana, karena selama puluhan tahun kita memperingatinya dan bahkan menghafalkan semua tokoh yang terlibat, termasuk sang "superhero" yang menyelamatkan bangsa dari kehancuran.

Ada seorang teman yang mengingatkan kita bahwa sebenarnya burung Garuda, lambang negara kita, merupakan salah satu bukti bahwa kita harus lebih bersyukur kepada Tuhan atas bangsa ini. Dia mengingatkan bahwa burung Garuda memiliki tampilan yang gagah perkasa dan berwibawa karena Tuhan mengatur kita untuk merdeka pada tanggal yang tepat. 17-08-1945. Hari kemerdekaan kita. Karena kita merdeka pada tanggal itu, maka burung Garuda kita nampak gagah perkasa, bulu sayap merentang berjumlah 17 (tanggal 17), bulu ekor menambah wibawa berjumlah 8 (bulan 08, Agustus), dan bulu dada (atau leher) yang sangat gagah berjumlah 45 (tahun 1945).

Teman saya mengatakan, untung kita merdeka pada tanggal itu. Coba kalau kita merdeka pada tanggal 1 bulan November tahun 1900, maka kita akan mendapatkan ini: burung Garuda yang sayapnya gundul sebelah, lalu sebelahnya hanya satu bulunya (karena bulu sayap memang cuma 1); bulu ekor kebanyakan dan tidak seimbang kanan-kirinya (karena 11, maka salah satu sisinya 6 dan sisi satunya 5); dan leher yang botak. Betapa mengenaskan!!!

Apapun kejadiannya, memang mengucap syukur itu sesuatu yang senantiasa perlu dilakukan. Dengan mengucap syukur kita akan memikirkan mengenai sisi positif dari apa yang terjadi. Memacu diri untuk mengucap syukur berarti kita memacu diri untuk mencari dan menemukan apa yang baik, positif dan berguna bagi kehidupan kita, dan bukannya berfokus kepada apa yang buruk, negatif dan tidak menyenangkan. Anda kesulitan menemukan sisi positif dari peristiwa yang terjadi? Mulailah mengatakan, "Tuhan saya bersyukur untuk ......" dan anda akan memeras otak anda untuk menemukan sisi positif itu.


In omnibus gratias agite haec enim voluntas Dei (Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah)