Tuesday, September 29, 2009

Menyiasati Perubahan


Awal tahun ini, sebenarnya sudah memutuskan rencana bahwa mudik Natal tahun ini, kami sekeluarga akan mengunjungi keluarga istri saya, di Simpang Pemali, Sungailiat, Bangka. Sudah beberapa tahun memang kami tidak ke sana, sejak Ibu mertua saya wafat. Semua persiapan dan strategi sudah disusun, dan bahkan sudah dirancang. Anggaran dan itinerary juga sudah diatur sedemikian rupa. Hampir bisa dipastikan bahwa perjalanan akan benar-benar ditempuh. Tetapi beberapa minggu yang lalu, istri saya tiba-tiba mengatakan, "Pak, kita ke Cilacap saja Desember ini. Embahnya anak-anak sudah sepuh, pasti mereka lebih membutuhkan kunjungan kita dibandingkan dengan Kakak-kakak di Bangka." Saya tidak bisa menjawab, tetapi terus terang, saya sangat bahagia.

Saya sedang menyiapkan diri untuk sebuah speech mengenai perubahan. Belum jelas apa judulnya, tetapi sekitar bagaimana menghadapi perubahan dan menyikapinya, ketika perubahan itu memang harus terjadi. Ini menurut saya sangat relevan mengingat perubahan selalu terjadi di dalam kehidupan kita, maupun di sekitar kita. Bahkan ketika kita tidak melakukan apa-apa, perubahan sedang terjadi. Ada seorang filsuf Jerman yang pernah mengatakan, "Nichts ist so beständig wie der Wandel" (Tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri.)

Artinya, segala sesuatu berubah. Waktu berubah. Diri kita berubah. Lingkungan di sekitar kita berubah. Keluarga kita berubah. Keadaan sosial kita berubah. Keadaan keuangan kita berubah.

Perubahan itu terjadi ketika kita merencanakannya ataupun tidak.

Perubahan itu terjadi ketika kita ikut mengambil bagian di dalamnya ataupun tidak.

Perubahan itu terjadi ketika kita mengetahuinya ataupun tidak.

Perubahan itu terjadi ketika kita menyadarinya ataupun tidak.

Perubahan itu terjadi ketika kita menyukainya atau tidak.

Kita tidak bisa selalu mengatur perubahan yang terjadi. Ada perubahan-perubahan yang menuju ke arah yang sangat menyenangkan bagi kita, tetapi ada juga perubahan yang menuju ke arah yang tidak menyenangkan. Karena perubahan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan, tidak bisa dihindari, maka yang penting adalah bagaimana kita meresponi perubahan itu. Mudah untuk meresponi dengan positif akan perubahan yang menyenangkan, tetapi sulit jika perubahan itu terjadi ke arah yang sebaliknya. Dan yang luar biasa, respons kita akan perubahan itu juga akan mendorong terjadinya perubahan yang lain lagi.

So how?

Jangan pernah menutup diri terhadap kemungkinan perubahan. Bahwa kita tidak melihat adanya perubahan berarti di dalam kehidupan kita selama beberapa tahun terakhir, tidak menjadi jaminan bahwa tidak akan ada perubahan dalam beberapa waktu ke depan. Tidak ada salahnya membuat antisipasi untuk yang terburuk, walaupun kita senantiasa mengharapkan yang terbaik.

Siapkan diri untuk berubah. Tidak ada gunanya semua antisipasi yang dibuat, semua persiapan yang dirancang, kalau kita, sebagai pribadi, tidak mau berubah. Ketidaksiapan ini yang sering membuat berbagai macam syndrom (termasuk post power syndrom dan sejenisnya). Ketidaksiapan ini yang membuat orang tidak tahu bagaimana bersikap ketika keadaan sudah berubah.

Dekatkan diri kepada Allah. Ini tidak bisa dilupakan. Kemampuan manusiawi adalah menghadapi perubahan yang bertahap, sedikit demi sedikit. Tetapi tidak semua perubahan bisa kita atur demikian. Beberapa perubahan mungkin akan terjadi secara sangat drastis. Banyak peristiwa yang demikian. Hanya kekuatan supranatural yang bisa membuat manusia sanggup menghadapinya.

Perubahan pasti akan terjadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa atas kenyataan ini. Tetapi kita bisa berbuat sesuatu: Menyiapkan diri agar bisa menyikapi dengan baik ketika perubahan itu melanda kita. Dengan begitu, setelah badai perubahan itu lalu, kita tetap berdiri tegak dan kokoh, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani kita.

Monday, September 28, 2009

Belajar Percaya


Untuk pertama kalinya, tadi malam kami membiarkan anak-anak naik sepeda motor sendiri. Jarak yang ditempuh memang tidak terlalu jauh, tetapi membiarkan kedua anak saya naik motor sendiri--Yosua memboncengkan Theresa--memang bukan sesuatu yang bisa dilakukan tanpa perasaan was-was dan juga khawatir. Tadi malam itu, Yosua hanya memboncengkan Theresa dalam jarak hanya sekitar 600 meter, dari depan Hotel Metropole sampai ke rumah.


Awalnya, memang tidak ada rencana untuk membiarkan terjadinya persitiwa itu. Rencananya, karena kemarin memang hari terakhir mereka liburan Lebaran tahun 2009, kami mengajak mereka makan di luar. Rencana dibuat, tetapi kemudian ingat bahwa banyak Rumah Makan masih tutup, termasuk RM Pelangi, yang sering menjadi langganan kalau ada rencana makan di luar. Kemudian dibuat kesepakatan untuk makan di warung POLENAK, sebuah warung kecil di depan Hotel Metropole. Maunya jalan bersama--saya, istri saya, Yosua dan Theresa. Tetapi karena sekalian mau ngisi bensin untuk sepeda motor, Yosua mengajukan diri untuk mengisi bensin, dan dengan itu, membawa sepeda motor.


Ternyata warung POLENAK juga tutup. Setelah bingung berpikir, dan sudah semakin lapar, akhirnya diputuskan untuk makan di warung Pak Cip, sebuah warung yang (lebih) kecil juga, dan jenis makanan yang sangat terbatas.


Di warung kecil, dengan meja kecil dan kursi yang kecil itu, saya duduk di sebelah Yosua. Saat itu saya memperhatikan baik-baik badannya, dan ternyata dia sudah sebesar saya!!! Saya tidak harus menunduk sama sekali ketika berbicara dengan dia. Saya melihat bahwa badannya tegap dan wajahnya sudah dihiasi denga kumis tipis-tipis (dan tentu saja, jerawat juga). Wah.. anakku, sudah besar kamu, Nak.


Makan malam bersama juga tidak berlangsung lama, karena Yosua sebenarnya sudah janjian sama temannya, dan karena itu, ia tidak bisa berlama-lama ngobrol, kemudian ia harus pergi (Apakah ini juga ciri bahwa anakku ini memang sudah besar?).


Waktu ia mau pergi dengan sepeda motor, Theresa kemudian berkata, "Aku ikut Kakak aja naik motor." Ahh.... hampir tidak percaya. Tidak biasanya ia mau ikut Kakaknya. Bahkan bisa dikatakan, sangat jarang ia mau dekat-dekat dengan Kakaknya, karena pasti akan diganggu dan akan terjadi pertengkaran. Tetapi tadi malam, Theresa langsung mau ikut Kakaknya. Tetapi tunggu dulu. Mungkinkah kami membiarkan Yosua memboncengkan adiknya pulang? Walaupun jaraknya sangat dekat dan Yosua sudah sangat mahir mengendarai sepeda motor, tetapi bisakah kami sungguh-sungguh membiarkan dia, sendirian, memboncengkan adiknya pulang?


Kami sudah biasa menyuruh Yosua untuk pergi ke beberapa tempat dengan mengendarai sepeda motor. Biasanya, itu terjadi kalau kami membutuhkan sesuatu, dan kami malas berangkat sendiri. Maka saya, istri saya, 2 keponakan saya, biasanya dengan mudah meminta tolong Yosua untuk membelinya, dengan naik sepeda motor. Tidak ada masalah dengan semua itu. Tetapi, ia tidak pernah memboncengkan adiknya sendirian saja. Biasanya selalu ada saya atau Ibunya yang mendampingi. Tadi malam, sempat beberapa menit saya berpikir dan berbicara dengan istri saya. Bisakah kami membiarkan Yosua memboncengkan Theresa?


Ternyata ia bisa. Setelah kami mengjinkannya, mereka berdua pulang, dan tidak ada masalah apapun.


Ini membawa saya kepada sebuah kesadaran. Masalah yang sebenarnya bukanlah kepada "Apakah Yosua bisa atau tidak?" tetapi lebih kepada "Apakah saya percaya bahwa ia bisa?" Dan ternyata ia membuktikan bahwa ia bisa.


Saya membayangkan bahwa ke depan, bukan hanya masalah sepeda motor. Peristiwa yang berkaitan dengan sepeda motor tadi malam hanya masalah kecil. Akan datang saatnya dimana Yosua akan memperhadapkan kami kepada perkara-perkara yang lebih besar, lebih rumit, dan lebih membingungkan. Pada saat seperti itu, keputusan akan jauh lebih sulit. Tetapi, mungkin sedikit demi sedikit kami bisa belajar. Belajar untuk melihat kemampuannya, dan belajar untuk bisa sungguh-sungguh mempercayainya, bahwa ia bisa menjadi pribadi yang belajar untuk berjuang dan belajar untuk bertanggungjawab.


Wednesday, September 23, 2009

There's Always a Springtime


THERE'S ALWAYS A SPRINGTIME
by Helen Steiner Rice

After the Winter comes the Spring

To show us again that in everything

There's always renewal divinely planned,

Flawlessly perfect, the work of God's Hand. . .

And just like the seasons that come and go

When the flowers of Spring lay buried in snow,

God sends to the heart in its winter of sadness

A springtime awakening of new hope and gladness,

And loved ones who sleep in a season of death

Will, too, be awakened by God's life-giving breath.

--Helen Steiner Rice

Tuesday, September 22, 2009

une femme vertueuse


Une femme vertueuse (wanita yang cakap).


Dalam salah satu session dalam retreat bertajuk "Always a Springtime," diajukan pertanyaan "Apa yang anda kagumi tentang pasangan anda." Ahh... bagi saya itu pertanyaan mudah. Sejak dulu saya sering secara langsung mengatakannya kepada istri saya, apa yang saya kagumi dari dia. Sejak dulu saya mengagumi kepedulian dan perhatiannya kepada orang lain. Bukan hanya kepada orang-orang dalam lingkaran hubungan tertentu saja, tetapi kepada orang-orang yang memang memerlukannya.


Kesan pertama muncul ketika kami sama-sama masih mahasiswa baru di sebuah kampus di Ungaran, Semarang. Suatu saat, ketika sedang membereskan kursi lipat di aula, setumpuk besar kursi lipat jatuh. Dalam kenaifan dan kemudaan saya, saya ingin menyelamatkan kursi itu, dan juga agar tidak terjadi keributan suara karena jatuhnya setumpuk kursi lipat itu, saya menahannya dengan kaki saya. Saya berhasil. Kursi tidak jatuh ke lantai, dan hampir tidak ada bunyi sama sekali. Harga yang harus saya bayar cukup mahal, kaki yang saya pakai untuk menahan kursi itu, bengkak besar. Saya harus berjalan terpincang-pincang. Istri saya (waktu itu bahkan belum terlalu kenal) memperhatikan saya dalam keadaan pincang itu. Karena kami berasal dari kelompok yang berbeda, dia bahkan hampir tidak sadar bahwa saya ada, tetapi saya memperhatikannya dan saya melihat bahwa ia juga memperdulikan orang-orang lain di sekitarnya.


Kebetulan kami sama-sama praktek di Jakarta. Saya di Jakarta Barat, dan dia di Jakarta Timur (waktu itu, juga belum terlalu kenal sebenarnya, hanya ia mulai menyadari bahwa saya memang benar-benar ada). Dia satu-satunya teman yang mau berbagi cerita dengan saya, yang mau jauh-jauh datang untuk sekedar share bersama, dan mau membalas surat saya (jaman itu, belum ada HP, dan telphone juga terbatas).


Masa membuat skripsi, dia yang sangat menolong dengan memberikan dorongan, menyemangati dan bahkan mau-maunya membuatkan mie rebus dan mengantarnya ke asrama kalau saya rencana mau lembur malam. (Masa ini, barulah masa 'jadian' itu). Saya termasuk mahasiswa panda (bukan ber-uang), sehingga kalau jalan bareng, hampir tidak ada acara traktir-traktiran, kecuali ada moment yang sangat khusus. Karena asrama tempat dia tinggal dekat Perpustakaan kampus, maka Perpustakaan menjadi tempat ketemuan, dan tentu saja, ini sangat menolong untuk mendapatkan bahan-bahan tambahan skripsi (gak lucu kalau di perpustakaan tidak ada kegiatan cari-cari dan baca buku--baik sungguh-sungguhan maupun pura-pura-an).


Setelah menikah, perhatiannya bahkan bertambah dan berlimpah. Bahkan setelah kami dikaruniai dua orang anak, Yosua dan Theresa, perhatiannya kepada saya tidaklah kurang. Ia yang mengurus hampir semuanya, sehingga saya hampir tidak tahu dimana letak kaos kaki atau tusuk gigi.


Tentu ada banyak kebaikan lainnya, tetapi bukan untuk blogosphere, tentu saja...




Qui peut trouver une femme vertueuse? Elle a bien plus de valeur que les perles
( Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata)


Melihat Hal Baik dalam Pasangan


Beberapa hari yang lalu diminta memimpin share mengenai kehidupan keluarga, antara suami-istri dan anak-anak. Beberapa teman ikut dalam kelompok itu, yang usia pernikahannya rata-rata di atas usia pernikahan kami sendiri. Oh ya, usia pernikahan kami 13 hampir 14 tahun, dan usia pernikahan anggota kelompok rata-rata 14-17 tahun. Hanya 1 yang usia pernikahannya 'baru' 10 tahun, tetapi anaknya lebih banyak dari anak kami. Pasangan ini anaknya 3.


Pertanyaan yang harus dijawab adalah, "Bagaimana mempertahankan dan meningkatkan keharmonisan hubungan antara suami dengan istri."


Pertanyaannya kelihatannya sangat klasik dan hampir klise, tetapi sebenarnya pertanyaan ini menyangkut hakekat yang sangat mendasar dari kehidupan berkeluarga. Banyak keluarga bubar dan tidak berlanjut lagi, karena tidak ada lagi keharmonisan antara suami dengan istri. Banyak alasan yang kemudian muncul, tetapi intinya, ya masalah itu tadi, tidak ada keharmonisan lagi.


Beberapa masukkan dimunculkan di dalam share itu, tetapi ada yang membuat saya sangat terkesan. Untuk meningkatkan keharmonisan hubungan antara suami dengan istri, perlu memperhatikan hal-hal baik yang tidak hilang sejalan dengan berlalunya waktu. Menarik sekali. Sering kali keharmonisan keluarga menjadi berkurang dan bahkan hilang karena pasangan tidak bisa melihat hal-hal yang baik di dalam diri pasangannya, atau hanya melihat hal-hal baik yang bersifat sementara di dalam diri pasangannya itu.


Ketika pasangan suami istri sedang bertengkar atau konflik, yang biasanya muncul di dalam pikiran masing-masing adalah kesalahan atau keburukan pihak lainnya. Tanpa "kecerdasan" yang memampukannya melihat hal-hal yang baik di dalam diri pasangannya, maka pertengkaran itu hanya akan menjadi ajang membongkar kebusukan masing-masing, yang semakin lama akan semakin berbau busuk dan cenderung menyakitkan. Waktu pertama kali jatuh cinta dulu, pasti banyak kebaikan yang muncul di dalam diri pasangan. Mungkinkah semua kebaikan itu hilang setelah menikah? Rasanya tidak. Pasti masih ada yang muncul. Kemarahanlah yang membutakan suami sehingga tidak melihat kebaikan istri, dan mematikan rasa sang istri sehingga tidak bisa merasakan kebaikan suami.


Ketika jarak membatasi suami dan istri, ingatan akan kebaikan sang istri akan menghalangi suami untuk berpikir bahwa ada wanita di dekatnya yang lebih baik dari istrinya. Ingatan akan kebaikan istri akan menyadarkannya bahwa kesenangan sesaat yang mungkin akan dialami dari pengkhianatannya, sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan kebaikan yang akan diterimanya dari pasangannya. Dan berlaku juga demikian juga dengan sang istri, yang mengingat kebaikan suaminya.


Memperhatikan kebaikan-kebaikan yang bersifat sementara, juga tidak banyak menolong, apalagi yang hanya sedalam kulit saja. Setelah beberapa dekade pernikahan, maka kecantikan dan kegagahan akan sangat berkurang. Tetapi kelemah-lembutan, perhatian, humoris, kebijaksanaan, ketelitian, kecerdasan; tidak akan berkurang dan kemungkinan bahkan akan meningkat sejalan dengan bertambahnya pengalaman. Kalau mata yang dipakai hanyalah mata fisik, maka keindahan yang nampak juga hanyalah keindahan kulit. Tetapi ketika mata yang dipakai adalah mata hati yang diliputi dengan cinta kasih, maka hal-hal yang bersifat tetap itu, akan nampak jelas.


Mudah-mudahan selama hidup saya, saya juga memiliki kemampuan ini, untuk melihat hal-hal yang baik dan kebaikan-kebaikan yang bersifat tetap, di dalam diri istri saya. Dan nampaknya, sangat mudah untuk menemukannya, mengingat bahwa ia memiliki sangat banyak kebaikan itu.


Love is patient, love is kind.


It does not envy, it does not boast, it is not proud.


It is not rude, it is not self-seeking.


It is not easily angered, it keeps no record of wrongs.


Love does not delight in evil, but rejoices with the truth.


It always protects, always trusts, always hopes, always perseveres.


Love never fails.

The relativity of time


WARNING & DISCLAIMER : Teori ini tidak ada hubungannya dengan teori relativitas Einstein, atau penjelasan "route-dependent" dari Hermann Bondi (yang memang tidak saya pahami blas, dan karena itu tidak menjadi inspirasi untuk teori saya ini hehehe....).


Di sebuah kamar, di dekat Telaga Sarangan, anak saya yang kecil, Theresa, mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak terlalu sulit untuk dijawab. "Pak, batas antara pagi sama siang, siang sama sore, sore sama malam, itu dimana sih?"


Anak ini rupanya masih memendam perasaan tidak terlalu senang, ketika diminta masuk ke kamar dan beristirahat karena hari sudah cukup larut. Dia merasa bahwa waktu itu masih sore, dan belum malam, dan karena itu ia masih memiliki hak untuk bermain di luar, menikmati pemandangan indah di kaki gunung. Memang lampu-lampu yang bercahaya di bawah--dari kota Magetan dan Madiun jauh di bawah kaki gunung sana-- sangat indah, dan sangat menyenangkan untuk dilihat. Tetapi karena angin pegunungan memang cukup keras, Ibunya merasa bahwa anak itu harus masuk kamar dan istirahat.


Pertanyaan yang sederhana itu--yang memang tidak bisa dijawab dengan ilmu eksakta--menjadi sebuah diskusi yang panjang mengenai the relativity of time, relativisme waktu (hehe... sebuah teori yang muncul karena kebutuhan untuk ngeles dari anak). Saya memulai dengan hipotesa yang saya munculkan, "Pagi atau siang, sore atau malam, sangat relatif, bergantung kepada keadaan yang menyertainya." Dan seperti yang sudah saya duga, anak saya itu mengajukan pertanyaan analisanya, "Maksudnya?" Tentu saya sudah menyiapkan jawabannya. "Jam 9 itu disebut kesiangan, kalau ada anak yang baru bangun jam segitu, tetapi jam 9 disebut kepagian kalau ada anak sekolah yang masuk siang, sudah berangkat jam segitu." Lalu "Jam 8 malam itu masih disebut kesorean dan belum malam, kalau Pak Satpam malam sudah datang di pos jam segitu. Tetapi jam 8 malam, juga disebut sebagai kemalaman kalau kamu baru mandi jam segitu."


Luar biasanya, ternyata konsep itu sangat mudah diterima oleh anak kecil itu. Anak saya dengan tertawa mengatakan, "Oh ya, bener juga ya Pak," dan kemudian mengakhiri perdebatan mengenai apakah saat ia dipanggil Ibunya itu masih sore atau memang sudah malam. Tetapi Dengan mudah anak saya memahami teori relativity of time ini sebagai sebuah kebenaran yang bisa diterimanya dengan baik. Ia langsung siap untuk memakai baju tidurnya, sikat gigi, berdoa dan tidur. Hahaha... It works!!! It works!!!


Mungkin teori ini memang hanya bisa diterapkan untuk anak-anak, yang tidak terbebani oleh berbagai macam aturan dan jadwal yang njlimet seperti orang tua. Dalam kehidupan anak-anak, waktu bagi mereka sangat sederhana. Yang ada hanya pagi, siang, sore, dan malam, dan semua kegiatan diatur berdasarkan ritme dan pemahaman yang sederhana tentang perbedaan waktu-waktu itu. Pagi adalah untuk bangun tidur dan persiapan sekolah, pagi juga adalah untuk sekolah, siang adalah untuk pulang sekolah, makan siang, main dan tidur siang, sore adalah untuk mandi dan belajar, dan malam adalah untuk tidur. Semua kegiatan lain, dengan mudah bisa disisipkan di antaranya. Tidak ada masalah kalau ada teman datang, atau kalau ada film kartun yang bagus, atau kalau diajak orang tua jalan-jalan ke mall atau ke taman bermain. Dengan mudah, tambahan kegiatan itu disisipkan tanpa merusak suasana hari itu.


Sekarang, kembali ke dunia orang dewasa. Not so simple.... Semua kegiatan sudah harus disusun rapi dalam ukuran jam, dan bahkan 15 menitan. The great tyrans yaitu deadline dan target, mengejar terus. Waktu tidaklah sederhana, tetapi waktu selalu complicated, rumit. Sebuah tambahan acara atau kegiatan bisa mengacaukan seluruh hari. Sebuah keterlambatan, ---karena rekanan yang terlambat, karena macet, atau karena hal lain-- bisa merusak seluruh rencana sehari. Dan kacaunya jadwal satu orang dalam sehari akan mengganggu ritme pekerjaan orang sekantor, sehingga suasana kantor juga akan menjadi terganggu karenanya.


Give yourself a break, Buddy.
Memang sangat tidak bertanggungjawab kalau kita menjadi lamban dan menghambat kemajuan team, tetapi memaksa diri kita untuk selalu dikuasai oleh jadwal dan agenda, akan membawa pengaruh buruk bagi tubuh dan juga jiwa kita. Sesekali, tidak ada salahnya ambil waktu untuk break bersama keluarga. Dan dalam saat seperti itu, jadikan agenda menjadi lebih longgar. Kalau makan pagi terlambat, enjoy saja. Kalau jalan menuju taman bermain macet... take it easy... Kalau permainan dengan anak dan istri di Taman bermain menjadi lebih lama dari yang dipikirkan sebelumnya, just play...


Tekanan yang berlebihan akan membuat kita tegang. Sesekali fleksibel akan membuat kita lebih relaks dan --rasanya--lebih produktif.


Para todas las cosas hay sazón, y toda voluntad debajo del cielo, tiene su tiempo determinado
(Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.)

Thursday, September 17, 2009

Masa Perubahan Anak-anakku


Libur panjang… Saatnya untuk menikmati masa-masa santai, bersama-sama dengan keluarga, dan juga dengan teman-teman lain. Dan tahun ini, masa liburan cukup istimewa karena ada rencana mengikuti retreat di Sarangan. Belum pernah ke sana, dan tidak tahu apa yang akan dilihat, tetapi mudah-mudahan retreat ini akan benar-benar membawa sesuatu yang baru, seperti judulnya “Always Springtime.” Sooo interesting.

Di tahun-tahun lainnya, hal yang sama juga dilakukan. Memimpikan dan merencanakan masa liburan yang menyenangkan. Mulai dari tempat liburannya, tempat menginapnya, apa saja yang akan dilakukan, tempat mana saja yang akan dikunjungi, dan—tentu saja—berapa biaya yang dibutuhkan. Ada kalanya impian dan rencana itu bisa terlaksana, ada kalanya harus diganti karena berbagai pertimbangan, dan juga pernah terjadi pembatalan perjalanan liburan. Sooo disappointing.

Liburan bersama selain masa-masa untuk relaks dan beristirahat, juga menjadi masa-masa untuk sungguh-sungguh bersama-sama dengan keluarga. Masa itu adalah masa dimana ada kesempatan selama beberapa hari untuk melupakan semua beban dan pekerjaan, dan hanya mengingat kebersamaan dengan keluarga. Bukan berarti bahwa pada hari-hari biasa tidak bersama dengan keluarga, tetapi di hari-hari liburan kebersamaan itu benar-benar menyeluruh. Di hari biasa, secara fisik mungkin bersama, tetapi masing-masing memikirkan urusan sendiri, melakukan kesibukan sendiri. Sooo busy

Kebersamaan dengan keluarga ini menjadi penting mengingat anak-anak sudah masuk ke masa-masa usia peralihan. Anak pertama saya, Yosua, sudah masuk ke SMP, artinya ia sudah hampir memasuki masa remaja. Anak yang kedua, Theresa, masuk kelas 3, dan dalam istilahnya sendiri, ia sudah menjadi “anak tanggung,” artinya, bukan lagi “anak kecil” tetapi belum masuk “anak besar.” Melewatkan masa-masa ini akan sangat rawan bagi perkembangan mereka, dan tentu saja bagi kami sebagai orang tua. Sooo dangerous

Dalam masa-masa ini, perubahan banyak sekali terjadi. Bukan hanya perubahan secara fisik—mereka jelas sekali perubahannya—tetapi juga perubahan sikap, perubahan kebiasaan, perubahan kesukaan, perubahan perilaku, dan berbagai perubahan lain. Apa yang dulu merupakan kesukaanbagi mereka, sekarang nampaknya tidak membuat mereka tertarik. Apa yang dulu mereka sambut dan tunggu dengan sangat antusias, sekarang bahkan mereka menolak untuk mengikutinya. Apa yang dulu sangat mereka takuti, sekarang sama sekali tidak berpengaruh. Soooo frustating..

Tetapi bagaimanapun, masa ini tetap harus dijalani. Yang terpenting adalah berjuang sekuat tenaga untuk menyikapinya dengan baik. Sudah membaca banyak buku, sudah bertanya kepada para senior yang sudah berpengalaman, sudah mencoba menggali untuk menemukan apa yang disukai anak-anak. Yang terpenting adalah berjuang sekuat tenaga untuk menyikapinya dengan baik, mendoakan dengan setia, dan kemudian, hope for the best, berharap bahwa masa ini dilalui dengan sebaik-baiknya. Harapannya adalah bahwa beberapa tahun ke depan, ada kesempatan untuk menulis lagi di blog ini dan mengatakan, “Horee… anak-anak sudah melewati masa-masa sulit ini, dan mereka berhasil mengatasinya dengan baik. Mereka sudah menjadi mandiri, takut akan Tuhan, dan tetap menghormati serta taat kepada orang tua. Soo proud of them!!”

L'enfant sage réjouit son père (Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya)

Sensasi Kesegaran Alami


Segelas kopi hangat.. Tentu saja dengan sedikit saja gula. Itu cukup mengusir rasa ngantuk dan juga memberikan sensasi segar bagi tubuh. Cocok untuk diminum pada waktu lembur di malam hari, atau pada siang hari setelah malamnya begadang, dan tentu saja sangat tepat untuk diminum pada saat rapat :)

Hampir semua orang tahu bahwa kopi mengandung caffeine, suatu unsur yang manfaat atau mudharat-nya masih menjadi perbincangan dan perdebatan. Pernah mencoba mencari data tentang manfaat dan mudharat coffeine, tetapi malah tambah bingung. Suatu saat ada sekelompok dokter yang mengadakan penelitian, dan kemudian mengatakan bahwa kopi membawa pengaruh buruk. Tetapi tidak lama kemudian, sekelompok dokter yang lain menyatakan bahwa kopi memberikan dampak yang baik bagi kesehatan tubuh. Ah... tambah bingung.

Tapi, who cares? Daripada bingung menimbang-nimbang dampak baik dan buruknya, manfaat dan mudharatnya, nikmati saja sensasi kesegarannya. Enjoy aja. Bukan mengabaikan dampak buruk, tetapi kalau para ahli kesehatan saja tidak bisa sepakat, lalu apa hak saya menghakimi kopi dengan caffeine yang ada di dalamnya. (hehe... sekaligus menjadi excuse untuk terus minum kopi).

Tetapi sebenarnya ada satu hal yang memberikan sensasi kesegaran dan menghilangkan kantuk, dan tidak memiliki efek buruk. Istirahat. Tidur. Tuhan menciptakan tubuh kita sedemikian sehingga ia memiliki semacam alarm yang dengan setia mengingatkan kita tentang kapasitasnya sendiri. Ketika tubuh sudah dimanfaatkan melampaui batas kemampuannya, maka ia akan memberikan alarm kepada kita. Kita menguap, mata merah, rasa lelah yang parah.

Dalam keadaan yang demikian, tentu kita masih bisa memilih: meneruskan aktifitas kita atau menghentikannya untuk beristirahat. Tentu kita bisa memilih yang pertama, melanjutkan aktifitas agar kita bisa mempercepat penyelesaian banyak hal sesegera mungkin. Banyak alasan untuk itu; karena kita memiliki terlalu banyak hal yang harus diselesaikan; karena kita memang sangat terjepit dengan waktu; karena kita memang masih suka melakukan aktifitas itu.

Untuk jangka pendek, maka semua alasan itu sangat masuk akal. Semua pekerjaan bisa dikejar dan bahkan diselesaikan secepat mungkin. Tetapi masalahnya, tubuh kita hanyalah benda fana, hanyalah alat semata. Dan seperti alat-alat kita yang lain, maka tubuh juga memiliki kemungkinan menjadi rusak ketika ia dipaksa untuk overwork.

Kopi mungkin memberikan sensai kesegaran, tetapi istirahat memberikan sensasi kesegaran, dan ditambah dengan proses pemulihan tubuh kita. Tetapi sekali lagi, pilihan ada di tangan kita.

Wednesday, September 16, 2009

Blog vs Facebook




Tiba-tiba kepengin membuka lagi beberapa blog yang sempat dikenal beberapa bulan yang lalu. Hahaha.... agak kecele... Beberapa blog sudah 'mati.' Yang muncul cuma penjelasan "Maaf, blog di ...........blogspot.com telah dihapus. Alamat ini tidak tersedia untuk blog baru" atau "Blog yang Anda cari tidak ditemukan." Beberapa blog yang lain sudah lebih dari 1 tahun tidak di-update. Walaupun sebenarnya blog saya ini juga naik dan turunnya sangat fluktuatif--bergantung mood--tetapi, rasanya kehilangan juga ketika blog-blog yang dulu saya nikmati, sekarang tidak ada lagi. Sebenarnya bukan hanya menikmati, tetapi juga menimba ilmu, menggali inspirasi, dan mengutip wawasan. Hilangnya blog-blog itu, tentu menjadi kerugian.


Walaupun tidak mungkin dibuktikan secara ilmiah, tetapi rasanya nge-blog memang kalah dibandingkan dengan social network yang lain seperti friendster, facebook, twitter dan sejenisnya. Kalau mau menjadikan rumah saya menjadi tolok ukur, Facebook jelas meng-KO blog. Semua orang di rumah saya sudah memiliki account Facebook masing-masing. Mulai dari saya, istri, 2 anak, dan 2 keponakan, jadi ada 6 Facebook, lawan 1 blog (hanya saya yang punya blog).


Mengapa? Tidak tahu. Mungkin karena di Friendster atau Facebook masing-masing pemilik account berkuasa mengatur siapa yang akan diterima menjadi Friend dan juga siapa yang akan diminta untuk menjadikan dirinya Friend. Dengan demikian, pertalian sosial benar-benar terjadi di antara mereka yang saling mengenal, atau paling tidak, yang mereka pilih sendiri. Tidak ada yang completely-anonimus (sepenuhnya tidak dikenal) di dalam Friendster atau Facebook.

Atau mungkin juga karena Friendster, Facebook, Twitter dan sejenisnya jauh lebih simple dan bisa benar-benar menjadi social network, dimana semua orang langsung menyapa dan memberikan komentar. Beberapa tulisan di wall Facebook, sangat sederhana, misalnya hanya "Tx God" atau "Cuapek" atau "Hehhhh...." atau bahkan hanya sekedar " :-( ". Dan dari 'tulisan' yang sangat singkat itu, muncul banyak komentar, yang tentu saja bisa langsung ditanggapi.


Tidak demikian dengan blog. Untuk tulisan ini, yang hanya mengungkapkan perbedaan antara Blog dengan Facebook dan kawan-kawannya, saya sudah menuliskan banyak kata, banyak kalimat dan banyak alinea. Ahh... no wonder


Never take for granted


Never take for granted on anything..

Ini pelajaran baru, yang saya dapat setelah mengamati masa panen mangga tahun ini. Saya suka banget sama mangga, dan memang mangga termasuk salah satu buah favorit saya. Selain itu, mangga juga istimewa karena menjadi salah satu dari sedikit buah yang disukai oleh semua penghuni rumah. Untuk buah-buah yang lain, taraf kesukaan masing-masing anggota berbeda-beda. Taraf kesukaan berkisar antara "love it", "accept it" sampai kepada "hate it" dan bahkan "how could any human being even think of eating it." Tetapi untuk mangga, semua pada taraf love it.

Beberapa bulan lalu, dalam perjalanan ke Malang, sudah nampak beberapa penjual buah yang mulai menjual mangga. Karena saya yang duduk di depan, otomatis saya yang melihatnya duluan. Semua antusias menyambut datangnya musim mangga. Saya bahkan mengatakan, "Tunggu dulu sampai harganya turun. Sekarang pasti masih sangat mahal."

Tetapi, ternyata skenario itu meleset. Panen mangga ternyata tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Semakin lama, mangga justru semakin jarang, dan bahkan sampai akhirnya memang tidak ada lagi yang menjualnya. Bahkan di pasar Batu, tidak ada yang menjual mangga!! Bahkan datangnya saat musim mangga, dan mulai adanya orang yang menjual mangga, tidak bisa menjadi jaminan bahwa akan mudah mendapatkan mangga dengan kualitas yang baik dan harga yang murah.

Never take for granted untuk apapun. Tidak ada yang selalu bisa dipastikan akan berjalan sesuai dengan rencana dan skenario kita. Bahkan untuk perkara yang sepele dan nampak kecil--seperti musim panen mangga--apalagi untuk perkara-perkara yang lebih besar dalam kehidupan.

Saatnya untuk mengingat dan merenung bahwa kalau ada sesuatu yang terjadi sesuai rencana kita, itu bukan karena rencana kita yang hebat, tetapi karena Allah memberkati rencana kita. Kalau ada keindahan-keindahan dan kebaikan yang kita rasakan, itu bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi ada Pribadi yang turut bekerja untuk mendatangkan keindahan dan kebaikan itu bagi kita.

Pro eo ut dicatis si Dominus voluerit et vixerimus faciemus hoc aut illud ( Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu)

Tuesday, September 15, 2009

Shortcut is the Best (??)


Jalan memutar... Menjengkelkan sekali. Mencari penyelesaian tercepat. Berusaha untuk mencari jalan pintas, yang paling dekat dan paling simple. Tak perduli kadangkala jalan pintas berarti harus menerabas batas. Yang kemudian justru membuat perjalanan tak tuntas.......

Semua mau instant, semua mau cepat. Sakit, minum obat langsung sembuh. Tugas, baru dipelototin langsung selesai. Pekerjaan, baru dipikirkan sudah beres. Masakan, baru disentuh sudah siap saji. Tulisan, baru direnungkan sudah siap. Meminta, baru selesai mengucapkan langsung diberi. Berdoa, baru menutup dengan "Amin" langsung dijawab. Betapa menyenangkan.

Menyenangkan? Ya. Apakah berguna? Mungkin saja. Tetapi apakah selalu demikian yang terbaik? Tidak selalu.

Hidup ini perlu proses. Proses yang mendewasakan kita. Proses yang membuat kita menjadi kuat, ulet, tangguh. Dan yang tak kalah penting, proses membuat kita menjadi berpengalaman. Dan pengalaman tentu bukanlah perkara yang sepele. Pengalaman memperkaya kita dengan kemampuan untuk menghadapi dengan strategi yang lebih baik ketika hal yang sama berulang kembali.

Proses juga membawa ketekunan kepada kehidupan kita. Ketekunan membuat kita sanggup bertahan ketika proses berlangsung dan ketika masalah tidak bisa secara instan kita hadapi. Ketekunan membuat kita tidak mudah menyerah dan dikalahkan ketika krisis berlangsung lebih lama daripada yang kita harapkan.

Penyelesaian instant memang terasa lebih menyenangkan dan praktis. Tetapi dalam jangka panjang, hanya mereka yang menjalani proses sajalah yang bisa terus bertahan dalam perjuangannya.


Ecce beatificamus eos qui sustinuerunt.
( Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun).