Sunday, December 14, 2008

Memilih Prioritas



Di awal bulan Desember ini, saya merasa bahwa view dari ruangan kantor saya mengalami perubahan yang membuatnya berbeda dari biasanya. Semula saya tidak menyadari apa yang kurang; apa yang tadinya ada dan sekarang tidak ada lagi. Yang saya tahu, saat saya duduk di kursi saya, terhampar pemandangan yang luas sehingga saya bisa dengan leluasa memandang Gunung Banyak, tempat favorite yang sering dikunjungi dalam acara Sport Jumat pagi. Baru setelah turun ke tempat parkir, saya tahu apa yang hilang: pohon mangga yang ada di sebelah tempat parkir mobil.
Terasa aneh bahwa pohon mangga yang selama bertahun-tahun ada di sana, sudah tidak ada lagi. Di tempat dimana pohon mangga itu berdiri, akan dibangun ruang Perpustakaan dan Koperasi. Apa yang salah dengan pohon mangga itu? Tidak ada yang salah dengannya, ia hanya berada di tempat yang salah dan bahwa ada hal yang lain yang lebih penting dan “strategis” dibandingkan dengannya. Ia tidak dibuang karena merugikan atau mengganggu; ia dibuang karena ada kepentingan yang lebih besar.
Rasanya kita sangat familiar juga dengan konsep yang demikian, khususnya ketika kita memasuki tahun yang baru. Ketika kita memandang kepada pelayanan kita, kita sering menemukan kenyataan yang sama, bahwa ada hal-hal yang harus ditambah dan ditingkatkan, tetapi ada juga hal-hal yang harus dikurangi dan dibuang.
Kesulitan yang sering muncul adalah karena apa yang harus dikurangi dan dibuang bukanlah bagian yang buruk atau mengganggu kehidupan pelayanan kita. Tantangan di dalam memilihnya adalah untuk memisahkan apa yang baik dengan yang paling baik (good vs best), memisahkan kebijakan yang sekedar menyenangkan dengan yang efektif (comfort vs effectivity), dan memisahkan antara yang sekedar dorongan keinginan pribadi dengan yang strategis (impulsive vs strategic).
Kita bisa membayangkan perasaan Abraham ketika ia harus mengurangi lahan peternakannya untuk sebuah rencana strategis yang lebih besar: terciptanya perdamaian di dalam keluarganya. Lebih buruk lagi baginya, apa yang harus dibuang dan dikurangi adalah seluruh Lembah Yordan, tempat yang paling subur. Keesokan harinya, ketika ia bangun di pagi hari, padang rumput yang hijau, aliran sungai yang jernih dan pepohonan yang hijau menyegarkan itu bukan lagi miliknya, tetapi milik keponakannya, Lot.
Memang menyedihkan untuk mengurangi dan membuang pelayanan atau aktivitas yang sudah dengan sangat nyaman kita lakukan selama bertahun-tahun—yang bahkan sampai kita anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pelayanan kita. Tetapi ada kalanya hal yang tak diharapkan itu tidak bisa dielakkan lagi. Tanpa kesediaan kita menguranginya, akan ada bagian strategis yang terlewatkan, yang justru akan merugikan keseluruhan pelayanan kita sendiri

Review our priorities, ask the question: what’s the best use of our resources right now (Perhatikan lagi prioritas kita, tanyakan : Apa cara terbaik memanfaatkan sumberdaya kita saat ini?)

Thursday, December 11, 2008

Tentang Kabut (2)


Sore itu saya cukup terkejut mendengar teriakan dari keponakan saya. “Wah, kabut! Kabut! Bagus sekali!” Keponakan saya itu, Berta, adalah penghuni baru di rumah sejak bulan Juni yang lalu. Ia datang dari Pemali, Sungailiat, di Pulau Bangka—kampung halaman istri saya. Kampung halaman istri saya itu, yang sangat mirip dengan keadaan di film Laskar Pelangi (ehm… mumpung masih demam film ini), keadaannya berpasir dan, tentu saja, sangat panas. Kabut bukan pemandangan biasa yang bisa dilihat dengan mudah di tempat itu.

Itulah sebabnya, sore itu, ketika semua penghuni rumah memilih untuk duduk di depan TV karena kedinginan, ia justru keluar untuk menyaksikan kabut tebal yang menyelimuti perumahan. Ketika kami memilih menghangatkan diri di depan TV, tanpa sungguh-sungguh peduli apa program yang disiarkan, Berta memilih untuk berdiri di halaman untuk menyaksikan pemandangan yang baru baginya.

Ah, persepsi. Sesuatu yang sangat biasa dan tidak menarik bagi beberapa orang, ternyata sangat menarik bagi orang-orang lain. Kabut yang cenderung diabaikan karena menunjukkan menunjukkan keadaan yang sangat dingin, justru menarik perhatian bagi sekelompok orang lain. Salah seorang teman kantor bahkan mengatakan, “Wah, saya senang sekali lihat kabut tadi malam. Saya diingatkan bahwa kita ada di Batu. Batu memang seharusnya begini, dingin dan berkabut, karena dari dulu, kota Batu memang terkenal sangat dingin. Kabut ini mengingatkan saya akan Batu di jaman dulu, sebelum ada polusi dan sebelum keadaan menjadi panas seperti sekarang. Saya enjoy banget.” (Batu di jaman dulu? Mungkin lebih baik “DI JAMAN BATU DULU!” Hehehe...) Tetapi bagi saya yang keturunan orang pantai (ahhh......), maka kabut di kota Batu memaksa saya harus memilih tinggal di rumah, minum air hangat (preferably kopi hangat), menghangatkan diri.

So what? Memang persepsi membuat orang memandang sebuah keadaan dengan cara berbeda. Persepsi itu seperti kaca mata. Kalau kacamata seseorang itu jernih, ia memandang sekeliling dengan jernih. Kalau ia memakai kacamata kuda lumping (yang berwarna biru atau merah), maka sekelilingnya juga menjadi biru atau merah.

Kabut itu indah, menyenangkan dan fresh; atau sebaliknya, dingin, basah dan membuat orang gampang pilek, itu bergantung dari siapa yang memandangnya dan bagaimana persepsinya. Rasanya tidak ada yang bisa mengklaim kebenaran persepsinya sendiri atas persepsi yang berbeda, karena kabut itu no big deal, bukan sesuatu yang penting. Tetapi ada persepsi yang big deal, yang sangat berpengaruh kepada kehidupan pribadi seseorang. Persepsinya akan masalah, persepsinya akan dunia, persepsinya akan pekerjaan, persepsinya akan orang lain, persepsinya akan diri sendiri, merupakan sebagian dari persepsi yang akan mempengaruhi kehidupannya. Untuk yang seperti ini, lebih baik memastikan bahwa kacamata yang kita pakai bukan kacamata kuda lumping, apalagi kacamata kuda, tetapi kacamata yang jujur dan obyektif, atau dalam istilah yang lebih keren, memandang dari kacamata yang berkenan kepada Allah.

Omnia munda mundis: coinquinatis autem, et infidelibus nihil est mundum, sed inquinatæ sunt eorum et mens, et conscientia. (Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis)

Tentang Kabut


"Desember tlah tiba, hore-hore-hore!" Ini jiplakan bebas dari sebuah lagu anak-anak. Ya, bulan ini memang sudah memasuki bulan terakhir dari tahun ini. Artinya, sudah sampai di penghujung tahun 2008 dan hampir masuk ke tahun yang baru, tahun 2009. Tinggal sebentar lagi, maka kalender harus dibaharui.

Datangnya bulan Desember berarti datangnya banyak hal. Tentu saja, datangnya bulan Desember berarti datangnya masa Natal. Banyak hal yang bisa dinantikan terjadi pada Natal tahun ini, entah apa, tetapi pasti ada sesuatu. Bulan Desember tahun ini membawa sesuatu yang lain. Mungkin akibat dari Global Warming atau pengaruh sesuatu yang lain, musim hujan tahun datangnya sangat terlambat. Biasanya bulan Oktober sudah mulai hujan, tetapi tahun ini, musim hujan datang pada awal bulan Desember.

Sebuah fenomena yang biasa muncul pada saat hari hujan, mulai bisa dilihat di awal-awal bulan ini, khususnya beberapa hari lalu. Kabut. Banyak sisi indah dari kabut. Ada yang menyebutnya temaram, remang dan putih indah. Tetapi banyak juga yang tidak merasa beruntung karena kabut. Banyak kecelakaan, baik di darat, laut ataupun di udara, yang terjadi karena kabut (http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Accidents_involving_fog), khususnya karena kabut membuat jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Dan memang apapun yang dikatakan orang, kabut membuat pandangan menjadi sangat terbatas. Ketika kabut turun di perumahan kami, bahkan rumah di depan rumah kami hampir tidak nampak. Apalagi rumah-rumah yang berjarak beberapa puluh meter, hanya nampak lampunya saja yang remang.

Ah… menuju tahun 2009, bukankah tahun ini juga masih diselimuti kabut? Ada ketidakpastian di sana. Ada hal-hal yang seolah-olah sudah nampak ssmar-samar, tetapi belum sepenuhnya jelas. Ada banyak hal yang justru belum nampak sama sekali. Tetapi kita tidak memiliki pilihan lain kecuali memasukinya. Mau tidak mau, kita harus masuk ke tahun itu, walaupun mungkin ada yang sebenarnya memilih tetap di tahun 2008 ini saja, khususnya bagi mereka yang di tahun depan memasuki masa yang belum terbayangkan sebelumnya; pensiun, empty nest (anak-anak harus keluar dari rumah karena berbagai alasa), atau yang masih ingin tetap pada usia seperti tahun ini. (Ada yang bilang kepada saya, “Wah tahun depan aku sudah 39 tahun, tua banget ya... ).

Mau tidak mau, senang atau tidak, bagaimanapun tebalnya kabut tahun 2009, kita harus memasukinya. Cara yang terbaik adalah dengan terus memandang kepada sumber tuntunan utama bagi kita, dengan terus berharap kepada pertolongan Tuhan. Dia adalah sumber Terang yang menerangi jalan kita. Kalau kita memusatkan perhatian kepada Terang itu, maka kita tidak mungkin melewatkannya, dan Terang itu akan terus membimbing kita melewati kabut. Suatu saat, kabut akan berlalu, dan keadaan menjadi lebih jelas bagi kita.

Sebuah puisi tentang kabut dari Stephen Muller

The Dense Fog
I see not what others see
The fog is used to blind me
That fog of routine that is of life
Unable to see what is near
It is near impossible to hear
Only the little light makes it through
That light is what I see
The possibility of unhindered vision
But that is only for a moment
For tomorrow the fog will roll back
And that is how all life is
For my generation and yours
This fog is here to stay

Terjemahan bebasnya

Kabut Tebal
Ku tak melihat apa yang orang lain lihat
Kabut membutakan aku
Kabut rutinitas yang ada dalam kehidupan
Tak mampu melihat apa yang dekat
Hampir mustahil untuk mendengar
Hanya cahaya kecil yang menembusnya
Cahaya itulah yang aku lihat
Memampukan aku untuk memandang
Namun itu hanya sementara
Karena esok akan ada kabut yang lain
Dan itulah kehidupan
Bagi generasi anda dan saya
Tetap akan ada kabut di sana

Kabut akan tetap ada, tetapi kita harus menjalaninya dengan keyakinan. Yakinlah bahwa ketika anda berpegang kepada Tuhan, Ia akan menuntun anda melewati setiap tahapan di dalam kabut itu.