Sunday, December 14, 2008

Memilih Prioritas



Di awal bulan Desember ini, saya merasa bahwa view dari ruangan kantor saya mengalami perubahan yang membuatnya berbeda dari biasanya. Semula saya tidak menyadari apa yang kurang; apa yang tadinya ada dan sekarang tidak ada lagi. Yang saya tahu, saat saya duduk di kursi saya, terhampar pemandangan yang luas sehingga saya bisa dengan leluasa memandang Gunung Banyak, tempat favorite yang sering dikunjungi dalam acara Sport Jumat pagi. Baru setelah turun ke tempat parkir, saya tahu apa yang hilang: pohon mangga yang ada di sebelah tempat parkir mobil.
Terasa aneh bahwa pohon mangga yang selama bertahun-tahun ada di sana, sudah tidak ada lagi. Di tempat dimana pohon mangga itu berdiri, akan dibangun ruang Perpustakaan dan Koperasi. Apa yang salah dengan pohon mangga itu? Tidak ada yang salah dengannya, ia hanya berada di tempat yang salah dan bahwa ada hal yang lain yang lebih penting dan “strategis” dibandingkan dengannya. Ia tidak dibuang karena merugikan atau mengganggu; ia dibuang karena ada kepentingan yang lebih besar.
Rasanya kita sangat familiar juga dengan konsep yang demikian, khususnya ketika kita memasuki tahun yang baru. Ketika kita memandang kepada pelayanan kita, kita sering menemukan kenyataan yang sama, bahwa ada hal-hal yang harus ditambah dan ditingkatkan, tetapi ada juga hal-hal yang harus dikurangi dan dibuang.
Kesulitan yang sering muncul adalah karena apa yang harus dikurangi dan dibuang bukanlah bagian yang buruk atau mengganggu kehidupan pelayanan kita. Tantangan di dalam memilihnya adalah untuk memisahkan apa yang baik dengan yang paling baik (good vs best), memisahkan kebijakan yang sekedar menyenangkan dengan yang efektif (comfort vs effectivity), dan memisahkan antara yang sekedar dorongan keinginan pribadi dengan yang strategis (impulsive vs strategic).
Kita bisa membayangkan perasaan Abraham ketika ia harus mengurangi lahan peternakannya untuk sebuah rencana strategis yang lebih besar: terciptanya perdamaian di dalam keluarganya. Lebih buruk lagi baginya, apa yang harus dibuang dan dikurangi adalah seluruh Lembah Yordan, tempat yang paling subur. Keesokan harinya, ketika ia bangun di pagi hari, padang rumput yang hijau, aliran sungai yang jernih dan pepohonan yang hijau menyegarkan itu bukan lagi miliknya, tetapi milik keponakannya, Lot.
Memang menyedihkan untuk mengurangi dan membuang pelayanan atau aktivitas yang sudah dengan sangat nyaman kita lakukan selama bertahun-tahun—yang bahkan sampai kita anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pelayanan kita. Tetapi ada kalanya hal yang tak diharapkan itu tidak bisa dielakkan lagi. Tanpa kesediaan kita menguranginya, akan ada bagian strategis yang terlewatkan, yang justru akan merugikan keseluruhan pelayanan kita sendiri

Review our priorities, ask the question: what’s the best use of our resources right now (Perhatikan lagi prioritas kita, tanyakan : Apa cara terbaik memanfaatkan sumberdaya kita saat ini?)

Thursday, December 11, 2008

Tentang Kabut (2)


Sore itu saya cukup terkejut mendengar teriakan dari keponakan saya. “Wah, kabut! Kabut! Bagus sekali!” Keponakan saya itu, Berta, adalah penghuni baru di rumah sejak bulan Juni yang lalu. Ia datang dari Pemali, Sungailiat, di Pulau Bangka—kampung halaman istri saya. Kampung halaman istri saya itu, yang sangat mirip dengan keadaan di film Laskar Pelangi (ehm… mumpung masih demam film ini), keadaannya berpasir dan, tentu saja, sangat panas. Kabut bukan pemandangan biasa yang bisa dilihat dengan mudah di tempat itu.

Itulah sebabnya, sore itu, ketika semua penghuni rumah memilih untuk duduk di depan TV karena kedinginan, ia justru keluar untuk menyaksikan kabut tebal yang menyelimuti perumahan. Ketika kami memilih menghangatkan diri di depan TV, tanpa sungguh-sungguh peduli apa program yang disiarkan, Berta memilih untuk berdiri di halaman untuk menyaksikan pemandangan yang baru baginya.

Ah, persepsi. Sesuatu yang sangat biasa dan tidak menarik bagi beberapa orang, ternyata sangat menarik bagi orang-orang lain. Kabut yang cenderung diabaikan karena menunjukkan menunjukkan keadaan yang sangat dingin, justru menarik perhatian bagi sekelompok orang lain. Salah seorang teman kantor bahkan mengatakan, “Wah, saya senang sekali lihat kabut tadi malam. Saya diingatkan bahwa kita ada di Batu. Batu memang seharusnya begini, dingin dan berkabut, karena dari dulu, kota Batu memang terkenal sangat dingin. Kabut ini mengingatkan saya akan Batu di jaman dulu, sebelum ada polusi dan sebelum keadaan menjadi panas seperti sekarang. Saya enjoy banget.” (Batu di jaman dulu? Mungkin lebih baik “DI JAMAN BATU DULU!” Hehehe...) Tetapi bagi saya yang keturunan orang pantai (ahhh......), maka kabut di kota Batu memaksa saya harus memilih tinggal di rumah, minum air hangat (preferably kopi hangat), menghangatkan diri.

So what? Memang persepsi membuat orang memandang sebuah keadaan dengan cara berbeda. Persepsi itu seperti kaca mata. Kalau kacamata seseorang itu jernih, ia memandang sekeliling dengan jernih. Kalau ia memakai kacamata kuda lumping (yang berwarna biru atau merah), maka sekelilingnya juga menjadi biru atau merah.

Kabut itu indah, menyenangkan dan fresh; atau sebaliknya, dingin, basah dan membuat orang gampang pilek, itu bergantung dari siapa yang memandangnya dan bagaimana persepsinya. Rasanya tidak ada yang bisa mengklaim kebenaran persepsinya sendiri atas persepsi yang berbeda, karena kabut itu no big deal, bukan sesuatu yang penting. Tetapi ada persepsi yang big deal, yang sangat berpengaruh kepada kehidupan pribadi seseorang. Persepsinya akan masalah, persepsinya akan dunia, persepsinya akan pekerjaan, persepsinya akan orang lain, persepsinya akan diri sendiri, merupakan sebagian dari persepsi yang akan mempengaruhi kehidupannya. Untuk yang seperti ini, lebih baik memastikan bahwa kacamata yang kita pakai bukan kacamata kuda lumping, apalagi kacamata kuda, tetapi kacamata yang jujur dan obyektif, atau dalam istilah yang lebih keren, memandang dari kacamata yang berkenan kepada Allah.

Omnia munda mundis: coinquinatis autem, et infidelibus nihil est mundum, sed inquinatæ sunt eorum et mens, et conscientia. (Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis)

Tentang Kabut


"Desember tlah tiba, hore-hore-hore!" Ini jiplakan bebas dari sebuah lagu anak-anak. Ya, bulan ini memang sudah memasuki bulan terakhir dari tahun ini. Artinya, sudah sampai di penghujung tahun 2008 dan hampir masuk ke tahun yang baru, tahun 2009. Tinggal sebentar lagi, maka kalender harus dibaharui.

Datangnya bulan Desember berarti datangnya banyak hal. Tentu saja, datangnya bulan Desember berarti datangnya masa Natal. Banyak hal yang bisa dinantikan terjadi pada Natal tahun ini, entah apa, tetapi pasti ada sesuatu. Bulan Desember tahun ini membawa sesuatu yang lain. Mungkin akibat dari Global Warming atau pengaruh sesuatu yang lain, musim hujan tahun datangnya sangat terlambat. Biasanya bulan Oktober sudah mulai hujan, tetapi tahun ini, musim hujan datang pada awal bulan Desember.

Sebuah fenomena yang biasa muncul pada saat hari hujan, mulai bisa dilihat di awal-awal bulan ini, khususnya beberapa hari lalu. Kabut. Banyak sisi indah dari kabut. Ada yang menyebutnya temaram, remang dan putih indah. Tetapi banyak juga yang tidak merasa beruntung karena kabut. Banyak kecelakaan, baik di darat, laut ataupun di udara, yang terjadi karena kabut (http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Accidents_involving_fog), khususnya karena kabut membuat jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Dan memang apapun yang dikatakan orang, kabut membuat pandangan menjadi sangat terbatas. Ketika kabut turun di perumahan kami, bahkan rumah di depan rumah kami hampir tidak nampak. Apalagi rumah-rumah yang berjarak beberapa puluh meter, hanya nampak lampunya saja yang remang.

Ah… menuju tahun 2009, bukankah tahun ini juga masih diselimuti kabut? Ada ketidakpastian di sana. Ada hal-hal yang seolah-olah sudah nampak ssmar-samar, tetapi belum sepenuhnya jelas. Ada banyak hal yang justru belum nampak sama sekali. Tetapi kita tidak memiliki pilihan lain kecuali memasukinya. Mau tidak mau, kita harus masuk ke tahun itu, walaupun mungkin ada yang sebenarnya memilih tetap di tahun 2008 ini saja, khususnya bagi mereka yang di tahun depan memasuki masa yang belum terbayangkan sebelumnya; pensiun, empty nest (anak-anak harus keluar dari rumah karena berbagai alasa), atau yang masih ingin tetap pada usia seperti tahun ini. (Ada yang bilang kepada saya, “Wah tahun depan aku sudah 39 tahun, tua banget ya... ).

Mau tidak mau, senang atau tidak, bagaimanapun tebalnya kabut tahun 2009, kita harus memasukinya. Cara yang terbaik adalah dengan terus memandang kepada sumber tuntunan utama bagi kita, dengan terus berharap kepada pertolongan Tuhan. Dia adalah sumber Terang yang menerangi jalan kita. Kalau kita memusatkan perhatian kepada Terang itu, maka kita tidak mungkin melewatkannya, dan Terang itu akan terus membimbing kita melewati kabut. Suatu saat, kabut akan berlalu, dan keadaan menjadi lebih jelas bagi kita.

Sebuah puisi tentang kabut dari Stephen Muller

The Dense Fog
I see not what others see
The fog is used to blind me
That fog of routine that is of life
Unable to see what is near
It is near impossible to hear
Only the little light makes it through
That light is what I see
The possibility of unhindered vision
But that is only for a moment
For tomorrow the fog will roll back
And that is how all life is
For my generation and yours
This fog is here to stay

Terjemahan bebasnya

Kabut Tebal
Ku tak melihat apa yang orang lain lihat
Kabut membutakan aku
Kabut rutinitas yang ada dalam kehidupan
Tak mampu melihat apa yang dekat
Hampir mustahil untuk mendengar
Hanya cahaya kecil yang menembusnya
Cahaya itulah yang aku lihat
Memampukan aku untuk memandang
Namun itu hanya sementara
Karena esok akan ada kabut yang lain
Dan itulah kehidupan
Bagi generasi anda dan saya
Tetap akan ada kabut di sana

Kabut akan tetap ada, tetapi kita harus menjalaninya dengan keyakinan. Yakinlah bahwa ketika anda berpegang kepada Tuhan, Ia akan menuntun anda melewati setiap tahapan di dalam kabut itu.

Monday, September 22, 2008

Rambu Kehidupan


Saya senang mengadakan perjalanan malam hari, baik naik bus maupun kereta api. Perjalanan malam selalu mengingatkan masa-masa muda dulu, waktu kalau mau ngapel harus naik bus 2 hari 1 malam, dari Ungaran ke Palembang. Waktu orang-orang tidur, pemandangan temaram di sepanjang kiri kanan jalan membuat suasana menjadi bagus sekali. Sunyi, tenang, hening, dan rasanya inilah yang disebut dalam bahasa Inggris tranquility. Tidak ada kebisingan, dan juga sedikit kemacetan.

Sesempurna itukah? Tidak juga. Salah satu hal yang mengesalkan dalam perjalanan yang demikian adalah karena saya tidak selalu bisa tahu, perjalanan itu sudah sampai dimana. Sering saya bangun di malam hari, dan kemudian bertanya-tanya, dalam hati, "Sudah sampai dimana ini?" Tidak mudah untuk menemukan jawabannya. Seringkali saya mencoba melihat keluar dan mencari-cari Sekolah, atau Kantor, atau bangunan apapun yang mungkin mencantumkan alamatnya. Dalam sedikit kasus, itu bisa menolong, khususnya kalau menemukan tulisan "Selamat datang di Kabupaten ...." Langsung bisa tahu bahwa perjalanan sudah ditempuh (misalnya) hampir setengah, dll. Tetapi yang membuat frustasi adalah kalau melihat tulisan besar, menunjukkan tempat dengan benar, tetapi sama sekali tidak memberi informasi yang memadai. Contohnya, tulisan di papan nama Sekolah, "SD Kawedungan V". Biarpun saya tahu bahwa saya ada di Kawedungan, tetapi itu tidak memberikan informasi apapun yang saya perlukan. Dan itu membuat saya semakin bingung. Dalam keadaan yang tenang dan hening serta nyaman saja, bisa menjadi mengesalkan kalau tidak tahu dimana saat itu kita sedang berada.

Saya membayangkan bahwa kehidupan kita seringkali sangat mirip dengan perjalanan. Ada saatnya sangat menyenangkan, ada saatnya terasa sangat berat. Baik dalam keadaan menyenangkan atau memberatkan, akan terasa mengesalkan kalau tidak tahu, sebenarnya kita sedang berada di mana. Kalau sedang senang, kita ingin tahu, sampai kapan kesenangan itu akan kita rasakan. Kalau sedang berat, kita ingin tahu, sampai kapan masalah yang memberatkan itu harus kita hadapi. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah "Where do we go from here?" (Habis ini, terus kemana lagi?)

Untung saya naik bus, yang sopirnya sangat paham lokasi dan arah perjalanan, sehingga biarpun saya bingung, saya tidak akan tersesat. Kalau sopirnya bingung, saya bingung, penumpang lain juga bingung, maka yang ada adalah sekumpulan orang bingung yang tersesat di malam hari yang gelap. Buruk? Ya! Buruk sekali. Dan yang tidak kalah buruknya (bahkan jauh lebih buruk lagi), adalah kalau kita sesat dalam kehidupan rohani kita, tidak tahu sedang ada dimana, tidak tahu arah kemana yang dituju, tidak tahu kapan sampainya.

Untuk menjamin bahwa kita tidak akan mengalami nasib yang demikian, pastikan bahwa kita berpegang kepada rambu yang jelas dan berharap kepada sopir yang handal.

Deduc me in semita mandatorum tuorum quia ipsam volui. (Biarlah aku hidup menurut petunjuk perintah-perintah-Mu, sebab aku menyukainya)




Wednesday, April 16, 2008

Belajar tentang akuntabilitas


Dari antara semua tempat pelayanan yang pernah dijalani, pelayanan di rumah menjadi tempat yang paling mengajar saya untuk menjaga akuntabilitas saya. Di rumah itulah saya menghadapi orang-orang yang paling keras dalam mendidik saya untuk memelihara akuntabilitas saya. Di rumah saya, orang-orang di dalamnya--khususnya anak-anak--sama sekali tidak sungkan untuk mengingatkan saya untuk menjaga akuntabilitas saya.

Yosua dan Theresa tentu saja tidak paham kalau ditanya tentang arti akuntabilitas, tetapi mereka sering melakukan banyak hal yang mendidik saya dalam hal itu. Mereka mengingatkan saya akan janji yang saya ucapkan (yang belum ditepati). Mereka menegur saya atas ketidaksopanan yang saya lakukan di depan mereka (padahal saya sering menegur mereka atas tindakan ketidaksopanan yang sama). Mereka mengingatkan saya akan peraturan yang saya buat (kalau saya melanggarnya sendiri).

Anak saya yang perempuan memiliki hobby membaca. Sangat sulit untuk menghentikan dia dari membaca. Kalau dia tidak tidur bersama kami, seringkali dia masuk ke kamar dan kemudian membaca sampai jauh malam. Tadi malam misalnya, jam 12 malam isteri saya masuk ke kamarnya untuk mengambil sesuatu. Ternyata dia masih membaca bukunya!

Pada awalnya saya membuat peraturan yang melarang anggota di rumah untuk membaca sambil berbaring di tempat tidur, karena memang efeknya yang tidak bagus untuk mata. Peraturan itu ditentang keras oleh anak perempuan saya, karena ia memang sangat suka membaca sebelum tidur. Tetapi ia mengalah juga, dan mengakali aturan dengan tetap membaca, tetapi sambil duduk di tempat tidur.

Suatu saat, karena saya sedang sangat seru membaca sebuah buku baru, saya membawanya ke tempat tidur dan BERBARING SAMBIL MEMBACA. Anak saya langsung datang dan mengatakan, "Pak, tidak boleh membaca sambil berbaring!" Saya sedikit ngeles dengan mengatakan, "Bapak tidak membaca sambil berbaring, tetapi berbaring sambil membaca."

Tentu jawaban itu bukan jawaban yang baik dan memuaskan dia. Akhirnya, dibuat rapat keluarga lagi untuk melonggarkan aturan tentang membaca di tempat tidur. Diputuskan bahwa membaca di tempat tidur diperbolehkan, tetapi tetap tidak boleh sampai larut malam.

Anak-anak di rumah memang sangat sering melakukan teguran yang demikian, hampir seimbang dengan teguran yang kami, orang tua, berikan kepada mereka. Mereka juga pernah menegur mengenai jam nonton TV, dengan mengatakan, "Jam 7 kan jam belajar, kok Bapak masih nonton?" Mereka juga pernah mengingatkan mengenai janji-janji yang sudah dibuat, misalnya: "Kan Bapak sudah janji mau mendongeng malam ini!" atau "Kan Bapak sama Mamak sudah janji kalau hari ini kita berenang" . Dan banyak teguran yang lainnya.

Di dalam sebuah proses belajar akuntabilitas, memang diperlukan orang-orang yang demikian, yang berani menegur dan mengingatkan kita tanpa ada sungkan, demi kebaikan kita masing-masing. System dan struktur mungkin tidak bisa sepenuhnya menolong dalam mendidik diri untuk akuntabilitas ini. Yang diperlukan, selain system dan struktur, adalah sahabat-sahabat yang siap menegur kita, menolong kita menjunjung tinggi akuntabilitas kita. Memang ditegur menyakitkan, tetapi lebih baik daripada dirasani dan dianggap tidak bisa dipercaya.


doctrina mala deserenti viam qui increpationes odit morietur (Didikan yang keras adalah bagi orang yang meninggalkan jalan yang benar, dan siapa benci kepada teguran akan mati)

Wednesday, April 9, 2008

Selusin Tahun Pernikahan


Waktu masih kecil dulu, salah satu strategi untuk menghemat pakaian yang akan dipakai adalah dengan membeli pakaian yang lebih besar dari yang seharusnya. Beberapa kali terjadi bahwa baju, celana, atau sepatu yang dibeli, memang lebih besar dai ukuran tubuh. Akibatnya? Baju sering agak kedodoran. Pemecahannya adalah dengan menggulung sedikit bagian lengan. Kalau bagian pinggang dimasukkan ke dalam celana, bukan hanya supaya rapih, tetapi juga supaya tidak nampak kepanjangan sampai ke lutut. Celana agak kepanjangan, hampir berfungsi ganda sebagai penyapu lantai juga. Jalan keluarnya? Bagian perutnya dinaikkan sedikit, lalu diikat dengan ikat pinggang yang cukup kuat. Sepatu sering kelonggaran, sehingga kalau dipakai berjalan santai, sering terbang. Solusinya adalah dengan mengganjal bagian depannya dengan kertas banyak-banyak, sehingga menjadi sangat pas.

Jangan tertawa dulu!! Ibu yang mana yang tidak pernah mengatakan, "Yang agak besar sekalian, supaya tahun depan masih bisa dipakai" Atau, bagi yang anaknya masih kelas I "Beli seragam ukuran yang agak gedean, supaya bisa dipakai juga di kelas III!" Atau, "Siapa bilang kebesaran? Pas gini kok! Biasanya kalau sudah dipakai pasti menyusut!" Atau, "Sayang ya, terlalu pas! Nanti paling bulan depan sudah kekecilan. Yang agak besar sedikit aja!"

Selalu ada alasan untuk membeli satu atau dua ukuran di atas ukuran yang sebenarnya. Alasannya adalah karena akan pertambahan ukuran pada si pemakainya juga. Ia akan bertambah besar, bertambah tinggi, bertambah gemuk. Dan memang itulah yang terjadi (Gak ada yang bisa mengalahkan seorang Ibu dalam membuat prakiraan yang demikian). Beberapa bulan ke depan, memang pakaian itu menjadi tidak cukup lagi. Baju sudah sempit, celana menjadi kependekkan, dan sepatu sudah kekecilan. Apa yang dulunya nampak kebesaran, sudah menjadi pas, dan bahkan kemudian berkembang menjadi kekecilan.

Gak tahu kenapa, ketika mengingat baju yang kesempitan itu, tiba-tiba saya menyadari bahwa memasuki kehidupan berkeluarga juga seringkali seperti memakai pakaian kedodoran yang kemudian menjadi kesempitan seperti itu. Waktu kita baru memasukinya, kita seperti merasa memakai baju yang kebesaran, yang jauh lebih besar dari keberadaan kita. Kita memasuki sebuah dunia yang jauh melebihi kemampuan kita, membayangkan banyaknya pergumulan yang harus dihadapi: Bagaimana melewati masa-masa bulan madu, bagaimana mendapat tempat tinggal, apakah Tuhan memberi kesempatan untuk memiliki anak-anak, bagaimana mengajar anak berjalan dan berbicara, bagaimana membesarkan anak-anak nantinya, bagaimana biaya hidup dan pendidikan anak-anak dll, dll, dll, dll.

Tetapi kemudian kita akan mendapati bahwa Allah menumbuhkan kita, seperti anak kecil yang bertumbuh menjadi besar. Di dalam kehidupan yang tadinya nampak sangat kebesaran, kita bertumbuh menjadi besar, sehingga apa yang tadinya kebesaran menjadi pas, dan bahkan sempit. Apa yang tadinya menjadi ketakutan yang sangat besar, menjadi bisa kita jalani, dan bahkan menjadi bagian dari masa lalu yang sudah diselesaikan. Kita sudah harus melihat ukuran yang lebih besar lagi.

Tahun ini, pernikahan kami sudah melewati masa selusin tahun, 12 tahun lebih. Dalam perjalanan, ada beberapa hal yang tadinya terasa terlalu besar, menjadi bisa dijalani, dan bahkan sekarang sudah bisa dilewati, menjadi bagian dari masa lalu. Bulan madu sudah dilalui, anak-anak sudah dilahirkan di dalam keluarga kami, dan kami sudah melewati masa mengajari mereka berjalan dan berbicara (sekarang kami malah lebih sering mengajari mereka untuk diam--3 tahun kami mengajari mereka berbicara, dan sudah 9 tahun kami mengajar anak untuk diam).

Dalam selusin tahun pernikahan itu, ada juga 'perkembangan' yang terjadi di dalam hubungan kami sebagai suami dengan istri.

Optimisme berkembang menjadi keyakinan. Tidak ada orang yang merencanakan kegagalan dalam kehidupan keluarga, tetapi di dalam kehidupan keluarga memang ada masa-masa kegagalan. Istilahnya, life goes on. Kehidupan berjalan terus. Di dalam perjalanan kehidupan itu, pengalaman menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang dirancang dengan didasari optimisme tinggi, sering tidak terjadi. "Tahun depan kita akan beli ......." Tetapi tahun depannya, tidak terjadi apa-apa. Optimisme hilang? Tidak. Optimisme justru ikut bertumbuh bersama kami. Optimisme itu tidak hanya mengharapkan apa yang baik saja, tetapi sudah bertumbuh menjadi keyakinan bahwa walaupun apa yang baik itu tidak muncul, keluarga kami tidak akan terganggu karenanya. Walaupun saya sudah menjaga optimisme bahwa saya akan mengurangi berat badan saya, tetapi optimisme itu sudah disertai keyakinan bahwa kalaupun saya tidak mencapainya tahun ini, istri tidak akan mengamuk karenanya. Juga, walapun saya tidak jadi beli ....., kami sekeluarga tidak akan menjadi kecewa.

Waktu menjadi sangat relatif. Dalam ukuran eksakta, waktu diukur dengan angka. 30 menit, 1 tahun, 10 tahun, tahun 2000, tahun 2008, dll. Tetapi dalam 'pertumbuhan' kehidupan keluarga, waktu menjadi sangat relatif. Di dalam keluarga kami, waktu diukur dengan ukuran yang lain, yang tidak masuk akal bagi orang lain, tetapi sangat bisa kami mengerti sendiri. Beberapa contoh ukuran waktu adalah "Waktu kak Yosua masih kecil" (Kapan? Mmmm.... Dulu!) Atau, "Waktu kita masih di kampus" (Kapan? Mmmmm.... beberapa tahun lalu). Atau "Sebelum Theresa lahir" (Kapan? Ada yang tahu?) Atau "Waktu kita masih di Ikhwan Hadi atas" (Kapan? ....) Atau "Sebelum kita pindah" (Kapan? Pokoknya kami tahu). Waktu tidak lagi ditentukan oleh sebuah alat yang ditemukan oleh orang lain (tahun, jam, atau menit), tetapi lebih merupakan rangkaian kejadian yang sangat bersifat pribadi, yang berkaitan dengan peristiwa di dalam keluarga kami sendiri.

Anda memiliki kemampuan mental memahami pasangan anda. Ini memang 'mengerikan', tetapi untungnya tidak terjadi di setiap saat dan di setiap peristiwa. Dulu, saya sering harus menanyakan dengan sangat detail, "Kaos kaki hitam yang aku pakai kemarin di mana?" Tetapi sekarang, hanya dengan menanyakan, "Kaos kaki mana?" istri saya sudah langsung mengambilkan kaos kaki yang saya perlukan. Ia tidak perlu bertanya, "Kaos kaki siapa?" Bahkan, kalau mau keluar rumah, dan saya bertanya, "Itu sudah ditutup?" Ia langsung bisa tahu apa yang saya maksudkan. Spooky, eh? Tidak juga.

Anda akan memahami bahwa kata-kata tidak selalu bisa diterjemahkan sebagaimana adanya. Perkataan, "Terserah" yang dikatakan istri tidak selalu berarti kita mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya untuk memilih. Mungkin bahkan sebaliknya. Kalau kita bertanya kepada istri yang sedang cemberut, "Kenapa?", dan ia menjawab "Tidak ada apa-apa", lalu kita menganggap bahwa memang tidak ada apa-apa, maka itu berarti bahwa kita belum sungguh-sungguh bertumbuh di dalam kehidupan kita berkeluarga.

Anda akan memahami bahwa tidak ada masalah rutin yang layak untuk menjadi bahan pertengkaran. Saya memiliki kecenderungan untuk menjelaskan sesuatu, dan saya ingin agar orang lain memahami penjelasan saya. Misalnya, saya ingin orang memahami bahwa saya suka ganti-ganti channel kalau lagi nonton TV, dan saya akan berusaha untuk membuat orang serumah memahami bahwa saya sangat ingin memegang remote control kalau lagi nonton. Memang saya memahami bahwa kadangkala orang tidak bisa memahami dengan baik, dan karena itu saya berusaha keras untuk menjelaskannnya secara tepat kepada mereka. Karena mereka tidak selalu paham, maka saya akan semakin bersemangat menjelaskannya. Karena kadangkala mereka membantah dan tidak mau mendengarkan penjelasan saya, maka saya menjadi tidak senang. Tetapi, semakin lama, saya semakin memahami bahwa penjelasan saya justru menjadi sumber permasalahan, sehingga terjadilah ketegangan. Penyebabnya? Remote control. (Sekarang menjadi semakin jelas tidak masuk akal, orang tua rebutan remote control). Banyak hal rutin lain yang sebenarnya menjadi bermasalah, tetapi menjadi memalukan setelah permasalahan itu selesai. Dan kadangkala, semakin keras penjelasan maka akan semakin besar masalah yang muncul.

Setelah selusin tahun menikah, anda akan menyadari bahwa di beberapa bagian, pakaian pernikahan anda sudah menjadi pas. Mungkin masih belum sempurna pas, masih sedikit longgar, tetapi tidak lagi kedodoran dan memalukan. Kelonggaran itu justru membuat anda akan bisa bernafas dengan lebih leluasa.


Tuesday, April 8, 2008

Memerangi HIV/AIDS di Indonesia




Tadi pagi, disiarkan di running text TV One, perkembangan jumlah penderita HIV dan AIDS di Indonesia. Angkanya cukup mengkhawatirkan. Jumlah penderita AIDS adalah sekitar 11.000 lebih (gak terlalu hafal angka pastinya, tapi memang lebih dari 11.000), sedangkan jumlah angka orang terinfeksi HIV adalah 6.066 (yang ini mudah diingat). Artinya, ODHA tercatat resmi berjumlah sekitar 17.000 orang (lebih). Itu baru yang terdaftar, yang diketahui secara resmi. Angka ODHA yang tidak diketahui secara resmi pastilah jauh lebih besar. Ada yang mengatakan bahwa angka resmi di dalam statistik biasanya adalah puncak gunung es dari sebuah gunung yang jauh lebih besar.


Paradigma di dala masyarakat yang mengkaitkan antara HIV/AIDS dengan perilaku kehidupan yang nyeleneh membuat penderita tidak bisa secara terbuka menyatakan diri sebagai penderita. Apalagi ada juga paradigma yang memposisikan mereka sebagai sumber untuk sebuah malapetaka yang lebih besar, dan lupa bahwa mereka sebenarnya lebih tepat diposisikan sebagai korban yang perlu mendapatkan perhatian dan simpati yang lebih besar.


Hari-hari ini berita tentang HIV/AIDS memang menjadi perhatian utama di rumah. Setiap kali baca koran, lalu ada berita tentang HIV/AIDS, selalu menjadi bahan pembicaraan. Begitu juga dengan berita di TV atau internet.


Semua ketertarikan itu berawal dari keinginan istri saya, Rosiana Pasaribu, untuk ikut serta dalam menolong masyarakat untuk memahami lebih banyak tentang HIV/AIDS, sehingga masyarakat bisa melakukan pencegahan untuk dirinya sendiri dan menghapuskan paradigma yang salah tentang ODHA.


Oh ya. Istri saya adalah seorang produser untuk program radio. Lebih banyak berbicara mengenai edukasi dan spiritual. Tetapi akhir-akhir ini ia sangat tertarik untuk membahas mengenai HIV/AIDS. Sudah ada narasumber yang bersedia menolong (belum ada ijin untuk menyebutkan namanya secara resmi, jadi gak usah disebutkan). Tetapi tentu saja masih banyak lagi yang harus dikerjakan, masih banyak orang yang dilibatkan, dan lembaga yang harus dirujuk untuk tambahan informasi (syukur-syukur kalau ada yang mau ikut nalangin biayanya). Belum tahu siapa saja, tetapi pasti akan sangat menolong kalau ada yang memberi tahu dia.


Karena belum ada ijin juga dari istri untuk menjelaskan mengenai rencana dia itu, kalau ada yang mau nolong, post saja di comment. Akan di fw ke dia, dan pasti akan sangat berguna. Mudah-mudahan sedikit yang dilakukannya ini bisa menjadi salah satu tenaga baru untuk memerangi HIV/AIDS di Indonesia. Sebelum angkanya menjadi 111.000 dan sebelum termasuk di antara angka itu, orang yang kita kasihi.


Membatasi Iklan dari dalam Hati


Ada sedikit yang mengganggu perasaan kalau melihat proporsi penyiaran iklan-iklan yang ada di TV. Aturannya adalah bahwa ada iklan-iklan tertentu yang baru bisa disiarkan setelah jam 10 malam. Ya... Iklan rokok. Walaupun di dalam iklan itu sama sekali tidak menyebutkan secuilpun bagian tentang rokok, tetap saja iklan itu dianggap tidak layak disaksikan oleh anak-anak yang masih kecil. Beberapa pertanyaan:

1. Apakah memang anak-anak kecil jaman sekarang pasti sudah tidur sebelum jam 10 malam? Rasanya hal ini masih bisa diperdebatkan. Kata-kata dalam iklan rokok, seperti "Mana ekspresinya???" Atau "Gak ada Loe, gak rame" bukanlah kata-kata yang asing bagi anak-anak. Apakah mereka menyaksikan iklan itu di TV setelah jam 10 malam atau orang tua mereka yang mengajarinya? Mungkin perlu polling.

2. Kalau memang iklan rokok di TV tidak boleh dilihat oleh anak-anak di bawah 18 tahun, dan hanya untuk komunitas 'kelelawar', yaitu yang masih melek setelah jam 10 malam, mengapa tidak dibuat aturan supaya baliho, banner, atau iklan board yang besar-besar di pinggir jalan yang mengiklankan produk yang sama tidak ditutup saja sebelum jam itu? Anak-anak kecil bisa melihat semuanya dengan jelas.

3. Iklan rokok dianggap sebagai konsumsi untuk orang dewasa, sehingga baru boleh diputar setelah lewat jam 10 malam. Lalu iklan lain yang jelas-jelas iklan dewasa, kenapa malah bisa diputar di siang bolong? Iklan ...... "SUTERA" dengan rasa pisang dan strobery (Hah!!!) misalnya, diputar di saat anak-anak masih melek. Iklan minuman supplemen, dengan tampilan bintang iklan yang jauh lebih 'dewasa' dibandingkan dengan iklan rokok, bisa muncul juga di saat siang hari.

Memang perlu ada pembatasan untuk iklan bagi produk tertentu, yang jelas-jelas untuk kalangan 'dewasa' (yang bukan hanya rokok, tentu saja). Tetapi rasanya perlu juga ada pembatasan untuk tampilan tertentu, bahkan untuk iklan bagi produk-produk yang 'aman'. Khususnya yang menunjukkan bintang-bintang berpenampilan 'dewasa' atau cenderung sangat 'sexy.' Dan yang lebih penting lagi, yang perlu dibatasi adalah hati kita juga; membatasi hati dari apa yang jahat dan yang merusak diri kita sendiri.

Omni custodia serva cor tuum quia ex ipso vita procedit (Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan)

Monday, April 7, 2008

Berlebihan Kalau Gratis


Masih dari kisah perjalanan ke Timor Leste tahun lalu.

Karena situasi Timor Leste memang kering kerontang, sampai-sampai sungainya juga gak ada airnya, maka debu menjadi pemandangan sehari-hari yang menyertai seluruh perjalanan. Mulai turun di Bandara Lobato, debu sudah berterbangan dibarengi dengan panas yang menyengat. Dan debu itu (bersama dengan panasnya) yang juga menyertai sepanjang perjalanan, kemanapun kita pergi.

Dalam keadaan panas dan berdebu seperti itu, pakaian menjadi sangat cepat kotor. Dan baunya? Ampun-ampun deh... Tetapi karena kesibukan setiap hari mengadakan perjalanan Dili-Tibar-Bazartete-Liquica, maka gak pernah berpikir untuk cuci pakaian. Laundry di hotel? Ngeri! Mengingat harga-harga dipatok pakai US $, dan mengingat harga-harga memang mahal, berpikir untuk laundry saja tidak berani.

Hari keempat, setelah persediaan pakaian (luar dan dalam) mulai menipis, mulai memberanikan diri untuk berpikir mengenai laundry. Alternatif untuk nekat memakai pakaian kotor, atau memakai side A dan side B untuk pakaian tertentu, menjadi mengerikan, mengingat betapa banyaknya keringat yang keluar dan kotornya perjalanan. Maka mulai sepakat dengan teman-teman untuk menanyakan tentang laundry di hotel.

Ternyata ada kejutan yang luar biasa. Hotel Audian, yang terletak di Rua 15 de Outubro, Audian, tempat kami menginap, ternyata memberikan fasilitas laundry gratis, segratis-gratisnya. Dengan segera kabar baik ini diberitakan kepada semua anggota rombongan. Mula-mula agak kurang percaya, karena hari gini, biasanya gak ada yang gratis. Minta sabun tambahan saja bayar, apalagi laundry. Tetapi setelah ada konfirmasi, rombongan memutuskan untuk menunda perjalanan pagi itu, untuk membereskan urusan laundry.

Ini yang ampun-ampun juga, rupanya bukan cuma orang kita yang kemaruk kalau ada gratisan, mereka yang dari negara-negara lain juga gak beda. Masing-masing anggota turun dengan membawa kantong kresek laundry, full sampai ditekan-tekan. Aneh juga, padahal keesokan harinya sudah mau pulang! Kayaknya kok aneh, urusan laundry kok pakai balas dendam!!


Wednesday, April 2, 2008

Menghargai yang Biasa Saja


Melihat rambutan yang bertumpuk-tumpuk di pasar, jadi ingat perjalanan ke Timor Leste waktu musim rambutan yang lalu.

Rambutan (Nephelium lappaceum) adalah buah yang memang sangat bejibun tersedia di tanah air tercinta ini. Namanya juga sangat Indonesia banget, rambutan, karena memang buah ini memiliki banyak rambut. Bahkan dalam bahasa International, buah ini juga diberi nama rambutan.

Musim panen ini, ada kesempatan untuk makan buah rambutan sampai batuk-batuk dalam perjalanan pulang ke rumah di Cilacap, karena memang di sebelah rumah ada pohon rambutan yang lagi panen, lagi banyak-banyaknya.

Tetapi di Timor Leste, kisahnya berbeda. Suatu siang, dalam perjalanan ke Liquica, Bp. Filomeno, Chefe Saude district Liquica (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Liquica), dengan bangga menceritakan bahwa di kebunnya, ia menanam 100 buah bibit rambutan. So what? Itu yang langsung kepikir. Apa istimewanya memiliki 100 pohon rambutan? Tetapi karena yang menceritakannya adalah seorang Chefe, harus ditanggapi dengan serius.

Tetapi pembicaraan itu lewat begitu saja, karena memang tidak terlalu nyambung dengan konteks perkunjungan. Bahkan selama hari itu, pembicaraan mengenai bibit rambutan sama sekali tidak muncul. Yang terus muncul adalah pembicaraan mengenai pembangunan klinik kecil di salah satu desa di ujung gunung (Lao Bara).

Esok harinya, baru menyadari betapa masuk akalnya Pak Filo memiliki kebanggaan memiliki 100 bibit pohon rambutan di kebunnya. Sempat pergi ke pasar sebentar. Mumpung tidak ada hujan batu, karena biasanya pasar ini menjadi lokasi hujan batu (Ini berbalikan dengan pepatah, hujan batu di negeri orang, pasti membuat ingin cepat pulang). Di pasar, ada ikatan-ikatan kecil buah rambutan, masing-masing isinya tiga buah rambutan. Harganya? Ini yang tidak masuk akal lagi, 3 buah rambutan dijual di pasar itu seharga US $ 1. Artinya? Tiga buah rambutan harganya Rp. 9.000. Artinya? Satu buah rambutan harganya Rp. 3.000. Gak bisa buat apa-apa selain geleng-geleng kepala. Di Batu, Rp. 3.000 sudah bisa makan rambutan 1 kilo.

Dengan Rp. 9.000, bisa makan rambutan sampai jadi mirip rambutan!! Langsung berpikir untuk bisnis buah rambutan, beli di Batu, jual di Dili. Haha... Pasti lumayan hasilnya.

Tetapi juga jadi mikir, betapa seringnya buah rambutan di sia-siakan, dibiarkan membusuk tanpa dimakan. Muncul rasa gak enak sama orang-orang di Dili, bahwa saya sering membuang sesuatu yang sangat ingin mereka nikmati, tetapi tidak bisa membelinya.

Kayaknya, bukan hanya rambutan lah. Banyak hal yang tidak kita hargai secara serius, karena jumlahnya yang berlimpah, sementara ada orang lain yang menjadikannya treasure, harta yang sangat berharga. Mulai menghargai sesuatu yang tersedia berlimpah, mungkin menjadi pilihan yang bagus. Siapa tahu suatu saat, apa yang berlimpah menjadi langka (kayak mitan, gas, kedelai, dll, dll).