Thursday, December 11, 2008

Tentang Kabut (2)


Sore itu saya cukup terkejut mendengar teriakan dari keponakan saya. “Wah, kabut! Kabut! Bagus sekali!” Keponakan saya itu, Berta, adalah penghuni baru di rumah sejak bulan Juni yang lalu. Ia datang dari Pemali, Sungailiat, di Pulau Bangka—kampung halaman istri saya. Kampung halaman istri saya itu, yang sangat mirip dengan keadaan di film Laskar Pelangi (ehm… mumpung masih demam film ini), keadaannya berpasir dan, tentu saja, sangat panas. Kabut bukan pemandangan biasa yang bisa dilihat dengan mudah di tempat itu.

Itulah sebabnya, sore itu, ketika semua penghuni rumah memilih untuk duduk di depan TV karena kedinginan, ia justru keluar untuk menyaksikan kabut tebal yang menyelimuti perumahan. Ketika kami memilih menghangatkan diri di depan TV, tanpa sungguh-sungguh peduli apa program yang disiarkan, Berta memilih untuk berdiri di halaman untuk menyaksikan pemandangan yang baru baginya.

Ah, persepsi. Sesuatu yang sangat biasa dan tidak menarik bagi beberapa orang, ternyata sangat menarik bagi orang-orang lain. Kabut yang cenderung diabaikan karena menunjukkan menunjukkan keadaan yang sangat dingin, justru menarik perhatian bagi sekelompok orang lain. Salah seorang teman kantor bahkan mengatakan, “Wah, saya senang sekali lihat kabut tadi malam. Saya diingatkan bahwa kita ada di Batu. Batu memang seharusnya begini, dingin dan berkabut, karena dari dulu, kota Batu memang terkenal sangat dingin. Kabut ini mengingatkan saya akan Batu di jaman dulu, sebelum ada polusi dan sebelum keadaan menjadi panas seperti sekarang. Saya enjoy banget.” (Batu di jaman dulu? Mungkin lebih baik “DI JAMAN BATU DULU!” Hehehe...) Tetapi bagi saya yang keturunan orang pantai (ahhh......), maka kabut di kota Batu memaksa saya harus memilih tinggal di rumah, minum air hangat (preferably kopi hangat), menghangatkan diri.

So what? Memang persepsi membuat orang memandang sebuah keadaan dengan cara berbeda. Persepsi itu seperti kaca mata. Kalau kacamata seseorang itu jernih, ia memandang sekeliling dengan jernih. Kalau ia memakai kacamata kuda lumping (yang berwarna biru atau merah), maka sekelilingnya juga menjadi biru atau merah.

Kabut itu indah, menyenangkan dan fresh; atau sebaliknya, dingin, basah dan membuat orang gampang pilek, itu bergantung dari siapa yang memandangnya dan bagaimana persepsinya. Rasanya tidak ada yang bisa mengklaim kebenaran persepsinya sendiri atas persepsi yang berbeda, karena kabut itu no big deal, bukan sesuatu yang penting. Tetapi ada persepsi yang big deal, yang sangat berpengaruh kepada kehidupan pribadi seseorang. Persepsinya akan masalah, persepsinya akan dunia, persepsinya akan pekerjaan, persepsinya akan orang lain, persepsinya akan diri sendiri, merupakan sebagian dari persepsi yang akan mempengaruhi kehidupannya. Untuk yang seperti ini, lebih baik memastikan bahwa kacamata yang kita pakai bukan kacamata kuda lumping, apalagi kacamata kuda, tetapi kacamata yang jujur dan obyektif, atau dalam istilah yang lebih keren, memandang dari kacamata yang berkenan kepada Allah.

Omnia munda mundis: coinquinatis autem, et infidelibus nihil est mundum, sed inquinatæ sunt eorum et mens, et conscientia. (Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis)

No comments: