Wednesday, November 28, 2007

Apa Artinya Sebuah Nama?


Di rumah akhirnya disepakati secara tidak resmi bahwa nama anjing kami adalah Doki. Bukan Flopsy seperti usulan saya dan Yosua; bukan pula Chinner seperti usulan Theresa, dan bukan pula Hus, Keluar! seperti yang dikatakan isteri saya (meskipun ia masih tetap memanggil Doky dengan nama itu). Nama yang dipilih Doki, bukan Doggy. Tetap mengingatkan dia bahwa dirinya adalah seekor Dog, tetapi juga bahwa namanya sudah berubah karena ia sudah menjadi "anjing baru" (apakah ini cocok sebagai padanan untuk "manusia baru"? Saya kurang yakin, tetapi gak ada istilah lain).

Ratusan tahun lalu, Shakespeare, pujangga terkenal dari Inggris yang hidup pada peralihan Abad XVII (ia lahir tahun 1564 dan meninggal pada tanggal 23 April 1616), menuliskan sebuah naskah drama yang sangat terkenal. Drama itu berjudul Romeo and Juliet, sebuah kisah percintaan romantis-tragis. Salah satu pernyataannya yang kemudian menjadi sangat terkenal diucapkannya melalui mulut Juliet,

What's in a name?
That which we will call a rose.
By any other word would smell as sweet

(Terj bebas: Apa artinya nama?
Yang kita sebut sebagai mawar.
Dinamai apapun akan tetap sama harumnya)

Pernyataan itu kemudian diterima sebagai sebuah kebenaran yang hampir tidak pernah dipertanyakan. Biar apapun namanya, batu tetaplah keras. Biar apapun namanya, nasi empok tetap enak. Biar apapun namanya, mangga manalagi tetap the best fruit. Biar apapun namanya, sayur daun kates tetap is the best... (Hehe... subyektif banget).

Saya bukan Shakespeare dan tidak selevel sama sekali dengan dia, tetapi saya berani mengatakan bahwa ia tidak sepenuhnya benar. Saya yakin sekali bahwa nama memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi manusia. Bagi manusia, nama bukanlah hanya seperti selembar pakaian yang menempel tetapi tidak melekat kepada tubuh manusia. Ketika nama diberikan kepada seseorang, maka nama itu sudah menjadi bagian dari keberadaan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya, bahkan di dalam bahasa Indonesia, kita mengenal ada istilah 'nama besar' atau 'nama baik.' Memang tidak berarti ada sebuah nama yang lebih besar atau lebih baik dibandingkan nama lainnya, tetapi istilah itu menunjukkan bahwa nama bukanlah sekedar sebuah asesoris tambahan.

Setiap orang tua yang memberikan nama kepada anaknya--kalau ia berpikir panjang--tidak akan memberikan nama secara sembarangan. Ia akan berusaha memilih nama yang baik untuk anaknya, walaupun mungkin untuk mereka yang berlainan bahasa, nama itu mungkin menjadi tidak indah kedengarannya, (mis: nama Aristobulus (Roma 16:10), artinya adalah "Penasehat terbaik. Meski ia seorang yang baik, jarang orang Kristen di Indonesia memakai namanya. Mungkin karena takut dipanggil "Pak Bulus" yang sama sekali tidak indah). Memang ada juga orang-orang yang nyentrik, yang memberi nama anaknya dengan nama yang aneh-aneh. (Kalau mau lihat daftarnya, coba klik http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_nama_orang_yang_aneh). Tetapi mereka tergolong kepada orang yang aneh dan sangat tidak biasa.

Banyak orang Kristen yang memilihkan nama dari Alkitab untuk anak-anak mereka. Meskipun ada seorang teman yang anti melakukannya, sampai ia mengatakan, "Saya takut memberi nama anak saya dari nama Alkitab. Nanti kalau jadi penjahat, memalukan gereja saja." Tetapi saya memberi nama anak saya dengan keyakinan dan harapan bahwa anak saya menjadi anak yang baik dan berguna.

Nama anak saya yang pertama, Yosua Trubus Aji Santosa, memiliki nama yang sudah dipikirkan secara sungguh-sungguh. Yosua adalah seorang pahlawan Alkitab, namanya יְהוֹשֻׁעַ berarti Allah adalah Penyelamat. Trubus berarti "Bertunas." Aji berarti "Berharga" dan Santosa berarti "Kuat."

Nama anak saya yang kedua, Theresa Margaretha Palupi Sarwendah. Nama yang sangat panjang, karena memang diimport dari kedua sisi nenek moyang. Istri saya mengusulkan nama Theresa, yang diambil dari kata Yunani θερος (theros) "Musim Panas", atau kata θεριζω (therizo) "Menuai". Rupanya di Gerika sana, orang menuai pada musim panas. Dari pihak mertua sata mengusulkan nama Margaretha, yang diambil dari kata Yunani μαργαριτης (margarites) yang berarti "Mutiara." Dari orang tua saya mengusulkan nama "Palupi Sarwendah" yang sangat nJawani. Nama itu berarti Teladan (Palupi) dalam semua kebaikan (Sarwendah). Dari saya sendiri? Saya gak mengusulkan apa-apa, takut jadi tambah kepanjangan, nama itu sudah cukup panjang untuknya.

Nama-nama itu tentu saja sesuai dengan harapan kami sebagai orang tua, bahwa mereka akan menjadi orang-orang yang sepadan dengan nama yang mereka sandang. Sekarang, nama itu melekat kepada mereka, menjadi bagian dari identitas dasar mereka.

Di dalam Alkitab, nama juga memiliki makna yang sangat dalam. Nama selalu membuat kita menghubungkan dengan sebuah pribadi. Abraham, Ishak, Yakub, Daud, Salomo, Petrus, Paulus, bukanlah hanya sekedar serangkaian kata-kata. Mereka mewakili pribadi-pribadi yang sangat kita kenal.

Belum lagi berbicara mengenai nama yang sangat spesial, yang diberikan secara khusus kepada sang Juruselamat. Nama itu sudah diberikan kepadaNya bahkan sebelum Ia dilahirkan. Yusuf dan Maria tidak bisa memberi nama kepada Anak itu sekehendak hati mereka, karena nama bagi Dia sudah ditentukan. Nama itu menjadi jaminan yang besar bagi manusia.

So, mungkin batu karang tetap keras kalau disebut dengan nama yang lain, tetapi setiap kali kita menyebut batu karang, kita akan mengingat benda yang keras itu, bukan benda yang lainnya, karena nama "batu karang" memang sudah melekat kepada benda itu. Mawar tetap harum jika diberi nama yang lain; tetapi ketika kita menyebut kata "Mawar", yang muncul dalam pikiran selalu bunga yang harum itu, karena nama "Mawar" memang melekat kepada bunga itu.



Sunday, November 25, 2007

Eulogi untuk Ibu Mertua


De mortuis nil nisi bonum dicendum est, sebuah kata bijak dari bahasa Latin, bahasa Inggrinya "Let nothing be said of the dead but what is good," (Jangan bicarakan apapun tentang almarhum selain kebaikannya). Bijaksana sekali. Di satu sisi, memang tidak ada gunanya berbicara mengenai apa yang buruk dari mereka yang sudah meninggal. Sudah terlambat, mereka tidak bisa memperbaiki diri. Di sisi lain, memang biasanya segala kebaikan akan muncul dengan lebih jelas justru setelah seseorang tidak ada lagi.

Tentang Ibu mertua saya, ia wanita yang luar biasa. Tentu saja ia tidak sempurna, tetapi ia tetaplah seorang wanita yang luar biasa. Ia adalah seorang wanita pekerja keras, dan hampir tidak mengenal takut. Ia siap untuk melakukan pekerjaan apapun yang halal, mengorbankan apapun yang bisa dikorbankan, demi keluarganya, khususnya anak-anaknya.

Dalam kenangan istri saya, ia sangat mengingat betapa Mamak berjuang keras. Ia tidak pernah akan bisa melupakan ingatan mengenai Mamak yang keluar dari rumah menenteng tas besar berisi barang belanjaan (pakaian yang dijual secara kredit) yang ditawarkan kepada orang-orang di kampung, di pasar, di manapun. Karena banyaknya pelanggan, ia harus berjalan kaki dari rumah ke rumah. Dalam beberapa kali perjalanan, ia sampai harus berjalan kaki sejauh 10 km!! Belum lagi, hampir setiap bulan ia harus pergi--sendirian--ke pasar Tanah Abang di Jakarta, naik kapal laut, untuk membeli pakaian grosir berkarung-karung. Ia memilih untuk membeli banyak sekaligus karena harga di Tanah Abang murah, sehingga masih ada keuntungan jika dijual kembali di Bangka. Sekali lagi, ia sendirian melakukannya. Ayah mertua saya orang kantoran di PT Timah, sehingga ia tidak bisa bebas mengantar Mamak.

Pengorbanan Mamak juga sangat luar biasa. Ia sudah bertahun-tahun terkena penyakit liver. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk terus berjuang. Ia sangat keras dalam mengajar anak-anaknya mengenai menabung. Tidak ada uang atau apapun yang bisa dihamburkan secara percuma. Memang terkesan pelit, tetapi dari hasilnya, rasanya sangat sepadan dengan disiplin itu.

Masih dalam kenangan istri saya, Mamak juga seorang yang sangat tinggi toleransi terhadap anak-anaknya. Berbicara mengenai menyakitkan hati Mamak, rasanya hampir semua pernah melakukannya. Bukan hanya anak-anaknya, tetapi juga para menantunya. Tetapi Mamak bisa menghadapi semuanya. Terhadap orang-orang lain, ia juga sangat toleransi. Ia bisa tetap bersikap ramah kepada mereka yang kurang disukainya.

Dalam kenangan saya, Mamak adalah mertua yang sangat perhatian. Ia tahu betul makanan kesukaan saya. Sungguh!! Dan rasanya, bukan makanan kesukaan saya saja. Ia juga ingat makanan kesukaan anak-anak saya. Setiap kali kami datang ke sana, selalu tersedia makanan kesukaan kami masing-masing. Bukan hanya sedikit, satu kuali!! Bukan itu saja, kalau Natal ada kiriman dari mertua, pasti ada makanan kesukaan saya, makanan kesukaan istri saya, makanan kesukaan anak-anak. Pasti itu. Ia tahu betul!!

Selain itu, ia rajin sekali menelpon. Hampir setiap bulan, ia akan menelpon ke Batu. Meskipun akhirnya kami yang membalas telpon ke sana, tetapi ia selalu ingin berkomunikasi, menanyakan kesehatan, memberikan salam-salam, membagikan cerita. Dalam beberapa bulan ke depan, kami pasti akan merindukan saat-saat dimana kami mendengar ia mengatakan, "Kalian bikin telpon ke sini aok?" ("Bikin telpon ke sini" tentu saja artinya adalah bahwa kami yang harus menelpon dia, bukan menyuruh kami membuat telpon).

Mamak juga sangat pengertian. Waktu baru mulai menikah, kami memang memulai kehidupan rumah tangga dalam keadaan sangat sederhana. Kalau Mamak mau datang, tentu saja seharusnya kami ikut menanggung sebagian ongkos. Tetapi ia sama sekali tidak mengharapkan hal itu. Ketika anak kami yang pertama--Yosua--lahir, misalnya. Berbulan-bulan ia menabung dan fund raising untuk perjalanan itu, sehingga ia bukan hanya menanggung sendiri biaya perjalanan bersama dengan ayah mertua, tetapi ia bahkan membawa oleh-oleh untuk kami. Setelah keadaan kami lebih baik, tentu saja masuk akal bahwa kami ikut memikul beban biaya perjalanan itu.

Mamak sangat suka mengunjungi keluarga. Pada masa tuanya sekalipun, ketika ia sendiri karena Ayah mertua sudah tidak ada lagi, ia tetap rajin mengadakan perjalanan mengunjungi keluarga. Tidak harus ada acara khusus. Ia hanya ingin berjalan dan bertemu dengan keluarga yang sangat dikasihinya. Bahkan di minggu ketika ia dipanggil Tuhan, sebenarnya ia sudah berencana untuk pergi ke Batu mengunjungi kami. ("Sekalian melihat rumah kalian," kata Mamak). Sayangnya itu tidak bisa terjadi karena kesibukan kami di minggu itu, dan juga karena kondisi kesehatan Mamak yang memburuk. Perjalanan itu diputuskan untuk ditunda dulu. Beberapa hari setelah itu, ia jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit.

Ternyata, sakit Mamak kali ini merupakan sakit yang terakhir. Pada hari Sabtu, 17 November 2007, Mamak dipanggil Tuhan, menyusul Ayah Mertua kami yang dipanggil 6 tahun yang lalu. Ia dimakamkan tepat di samping makam Ayah Mertua. Selamat jalan Mak...


Arga do di roha ni Jahowa hamamate ni angka na niasianna i (Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya)

Thursday, November 22, 2007

Pudarnya Pamor sang Super Father


Salah satu cara untuk menjadi superhero secara mudah adalah dengan menjadi seorang ayah. Biar berapapun tingkat IQ yang dimiliki oleh seorang ayah, berapapun kekuatan tenaga seorang ayah, ia akan tetap mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang superhero, Super Father, di rumahnya sendiri. Seorang ayah akan dianggap paling tahu, paling kuat, paling hebat, khususnya di mata anak-anaknya.

Dalam beberapa tahun ini saya menikmati benar posisi sebagai Super Father di rumah. Dianggap paling banyak tahu, dianggap paling bisa menyelesaikan masalah yang muncul, dianggap paling bisa memberikan jawaban atas segala pertanyaan yang muncul. Seringkali dengan penuh kekaguman anak-anak bertanya "Kok Bapak tahu?" Dinikmati saja dengan penuh kebanggaan, walaupun pertanyaan yang diajukan hanya sederhana saja.

Waktu Yosua masih kecil dulu, ia mengagumi ayahnya yang tahu bahwa sebelum Indonesia dijajah Jepang, Indonesia terlebih dahulu dijajah Belanda. Ia juga kagum karena ayahnya bisa langsung menyebutkan bunyi Sila Keempat Pancasila, padahal ia menghafalkannya setengah mati. Ia juga kagum karena ayahnya bisa memasang baterei kamera tanpa terbalik. Betapa sangat enak untuk dinikmati kekaguman itu!!

Kekagumannya mulai meredup ketika suatu saat, ia melihat ayahnya mencoba menyusun Tamiya dan yang kemudian malah kelebihan spare part dan jalannya justru mundur!! Semakin meredup ketika ia melihat bahwa PR yang sudah dibantu oleh ayahnya, justru nilainya tidak seperti yang diharapkan (Sekarang, kalau ditawari bantuan mengerjakan PR, dengan sopan ia menjawab, "Nanti Pak, saya berusaha dulu, supaya bisa belajar sendiri." Anak yang sangat sopan!!)

Sedangkan untuk adiknya, ia masih memiliki sisa kekaguman kepada sang Super Father. Ia mengagumi ayahnya yang bisa menyanyikan lagi Ibu Kartini tanpa salah sedikitpun. Ia mengagumi ayahnya yang bisa membedakan anjing betina dengan anjing jantan ("Darimana Bapak bisa tahu?" Pertanyaan yang sulit!!!). Ia mengagumi ayahnya yang bisa memasang keran air di kamar mandi, sehingga keran yang tadinya bocor, tidak lagi bocor. Ia mengagumi ayahnya yang bisa menjawab pertanyaan, "Negara apa yang selalu ingin minum?" (Jawabannya gampang kok, Australia, Austria).

Kekagumannya mulai meredup ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat ayahnya memasang booster, tetapi gambar di TV sama sekali tidak bertambah jelas. Semakin meredup ketika tugas yang sudah ditandatangani oleh ayahnya, ternyata nilainya juga tidak sempurna.

Apalagi setelah merasakan ditinggal isteri selama beberapa hari, semakin menyadari bahwa ternyata gak ada yang namanya Super Father. Sungguh-sungguh sudah menyadari betapa bahkan seorang Super Father menjadi lemah dan tidak berdaya ketika ditinggalkan beberapa hari oleh isteri. Banyak sekali yang tidak tertangani, tidak tertata, tidak terselesaikan dengan baik ketika tidak ada isteri yang mendampingi. Bahkan perkara sederhana seperti kaos kaki dan makan pagi saja sudah repot, apalagi berbicara mengenai mengurus anak dan menyiapkan mereka ke sekolah. Merapikan rumah? Lebih baik tidak usah disebut-sebut. Mungkin harus mulai lebih menghargai sang Super Mother.


"Qui invenit mulierem invenit bonum et hauriet iucunditatem a Domino" (Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN)

Wednesday, November 21, 2007

Superhero yang Berkorban


Selasa, 20 November 2007, iseng-iseng nonton film kartun. Tentang superhero jadul yang ngetop waktu jaman-jaman SD dulu. The Justice League. Anggotanya jagoan-jagoan masa kecilku: Superman, Hawkman, Cyclone, Green Lantern, Flash dkk. Jadi ingat waktu masih SD, cepet-cepet mandi supaya bisa nonton TV tetangga yang hitam putih (Soalnya tetangga kasih aturan, yang belum mandi gak boleh masuk haha.....).

Kisahnya masih sangat klasik sekali, sang superhero melawan penjahat, superhero kalah duluan, tetapi kemudian menang secara spektakuler. Tetapi kisah sore itu ada perbedaan dengan kisah lainnya. Kisahnya mengenai Green Lantern (baru yakin kalau Green Lantern memang hijau beneran, dulu waktu di TV hitam putih, Green Lanternnya abu-abu) yang merasa bersalah karena menghancurkan sebuah planet berpenduduk 5 milyar jiwa. Padahal ia hanya dijebak saja. Green Lantern menembak sebuah pesawat penyelundup, tetapi pesawat penyelundup itu memakai ilusi sehingga seolah-olah tembakan Green Lantern mengenai sebuah planet yang langsung hancur seketika (Tidak perlu bertanya berapa besar planet itu, dan bagaimana sebuah tembakan bisa mengancurkannya. Ini film anak-anak, jadi jangan tanya macam-macam).

Penyelundup yang jahat itu justru membawa Green Lantern ke pengadilan antar galaksi. Karena merasa bersalah, Green Lantern menerim saja penangkapan dan menerima vonis hukuman pemusnahan. Saat itulah muncul Flash. Bukan Flash Gordon, tetapi Flash si manusia super cepat. Flash Gordon iu cerita yang lain lagi. (Rupanya bajunya Flash itu merah, aku pikir biru, sesuai dengan warna kesukaanku). Ia langsung mencoba mengajukan pembelaan terhadap Green Lantern. Hakim antar galaksi menerima Flash sebagai pembela, tetapi mereka juga menjelaskan aturan bagi pembela. Karena seorang pembela dianggap sudah berani membela sebuah kasus, maka ia harus berani juga menerima hukuman yang sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwanya. (Kalau ini diterapkan di jaman ini, rasanya banyak pembela yang akan lebih mendengar 'hati nurani'nya). Flash menerima syarat itu. Ternyata, Flash tidak bisa membuktikan Green Lantern tidak bersalah, sehingga mereka berdua akhirnya dimasukkan ke dalam tempat pemusnahan.

Kalau mereka musnah, maka kisah ini sudah menjadi tidak seru lagi. Dengan bantuan Hawkgirl, Manhunter dan Superman, mereka bisa membuktikan kalau Green Lantern tidak bersalah dan kemudian justru si penyelundup yang dimusnahkan. Horeee!!

Kisah yang sangat simple, tetapi tiba-tiba saya bisa melihat hubungannya dengan diri kita dan Pembela Agung kita. Ada beberapa perbandingan yang menarik.



  1. Keadaan kita mirip dengan Green Lantern, yaitu sama-sama menghadapi si pendakwa jahat. Green Lantern hanya difitnah oleh si penyelundup, sedangkan kita sungguh-sungguh jahat dan berdosa. Kita memang melakukan kejahatan dan dosa setiap hari sebagaimana yang didakwakan pendakwa kita.


  2. Flash membela dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tetapi saat ia melakukan pembelaan, ia tidak hanya mencoba menyelamatkan Green Lantern, tetapi ia juga berjuang sekuat tenaga menyelamatkan nyawanya sendiri. Pembela Agung kita menjadi pembela bagi kita dengan menyerahkan nyawaNya sendiri. Ketika membela kita, Ia tidak sedang mencoba menyelamatkan diriNya sama sekali, karena Ia justru sudah menanggung hukuman kita.

Flash melakukan pembelaan kepada Green Lantern karena ia sangat mengasihi rekannya itu. Tetapi setelah vonis dijatuhkan, ia tetap berusaha kabur dari penjara itu. Pembela Agung kita membela kita karena Ia sungguh-sungguh mengasihi kita, sehingga Ia sudah memberikan nyawaNya bahkan sebelum Ia melakukan pembelaan itu.


Maiorem hac dilectionem nemo habet ut animam suam quis ponat pro amicis suis (Orang yang paling mengasihi sahabat-sahabatnya adalah orang yang memberi hidupnya untuk mereka)

Wednesday, November 14, 2007

Khotbah di Blog


"Khotbah saya hari ini didasari oleh artikel di Blog saya. Saya akan menjelaskan lanjutannya, karena saya yakin anda sudah membaca Blog saya. "



Pendeta ke-PD-an. Tetapi mungkin suatu saat, di masa yang sangat futuristik, pendeta tidak perlu khotbah di mimbar, pasang saja di Blog. Asal jangan lupa cantumkan nomor rekening, supaya tetap ada persembahan yang bisa diberikan. Pujiannya? Pakai Karaoke Online, taruh running text juga siapa tahu ada jemaat yang belum hafal. Fellowshipnya? Itu yang tidak bisa digantikan, jadi kelihatannya, model gereja konvensional seperti yang ada sekarang masih yang paling cocok untuk Fellowship, Praise & Worship, Discipleship dan segala macam ___ship yang lain. Pokoknya masih paling Siiip lah...

Gak Ada Waktu?


Kenapa kadangkala kita merasa bahwa waktu kita sangat kurang sekali, ya? Kita sering 'kepepet' oleh waktu, dan bahkan sering juga 'kehabisan' waktu. Sebenarnya, setiap hari kita mendapatkan jatah waktu 24 jam. Semua orang yang lain di dunia ini juga mendapatkan jatah yang sama. Dalam satu minggu, kita semua mendapatkan waktu sebanyak 168 jam. Coba kita bayangkan pemakaian waktu kita dalam seminggu :



  1. Kalau dalam sehari kita tidur 8 jam, misalnya dari jam 10 malam sampai jam 6 pagi, (atau 6 jam tidur malam tambah 2 jam tidur siang), dalam satu minggu kita tidur 56 jam. Maka jumlah waktu kita dalam satu minggu masih tersisa 112 jam. (kalau sudah lewat 17 tahun, kelihatannya jarang yang tidur sampai 8 jam sehari).


  2. Kalau setiap hari (kecuali Minggu) kita bekerja 10 jam; yaitu 9 jam di kantor dan 1 jam di rumah (walaupun jarang ada yang menggunakan 10 jam pada hari Sabtu untuk kerja secara full, hanya untuk memudahkan penghitungan dan membayar kekurangan perhitungan seandainya di hari yang lain bekerja lebih dari 10 jam), dalam satu minggu kita bekerja 60 jam. Maka dalam satu minggu jumlah waktu yang tersisa masih ada 52 jam.

Itu dua kegiatan yang paling lama menyita waktu, dan yang harus terjadi setiap harinya, hampir tanpa ada kecuali. So, setelah dihitung, sebenarnya masih ada 52 jam waktu yang bisa kita pakai untuk Ibadah, untuk keluarga, dan untuk pribadi, untuk bertetangga, dan untuk lain-lainnya. Tetapi nampaknya, kita terus merasa sangat sibuk dan bahkan terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk apapun yang lain selain pekerjaan kita.

Rasanya tidak berdosa kalau kita mengambil waktu beberapa jam seminggu untuk menikmati kehidupan. Ada kisah mengenai seorang pemuda yang berkata kepada pendetanya, "Kita harus terus bekerja, karena Iblis terus sedang bekerja. Ia tidak pernah beristirahat, karena itu kita juga harus terus berjuang." Pendetanya dengan tenang menjawab, "Hanya Iblis yang tidak beristirahat. Kalau manusia tidak mau beristirahat, jangan-jangan ada pengaruh Iblis di dalam orang itu."

Kuncinya adalah pengaturan waktu. Kalau semua waktu tidur dan waktu kerja itu tidak bisa kita kurangi, kita toh masih memiliki 52 jam.



  1. Kalau 5% saja dari waktu luang itu yang kita pakai untuk pribadi, kita punya waktu 2,5 jam seminggu untuk pribadi.


  2. 20% kita pakai untuk keluarga, kita punya hampir 11 jam dengan keluarga, hampir 1,5 jam setiap hari bercengkrama dengan keluarga. Not bad at all.


  3. 25% untuk ibadah, berarti ada waktu 13 jam setiap minggu untuk Devotion dan Ibadah (ada yang kurang dari itu?).

Setelah dihitung-hitung, masih ada sisa 25 jam!! Wah, mau ngapain kita 25 jam. Mandi, makan, baca buku, apa lagi ya??? Wah, ternyata, dalam perhitungannya, untuk menghabiskan sisa waktu itu sama susahnya dengan untuk menyisihkan waktu dari kesibukan kita.

Bagaimana kalau ternyata ada perhitungan yang meleset? Kalau sehari tidurnya tidak 8 jam, tetapi ada yang hanya 7 jam? Dari pada repot, tambahkan saja surplus jam tidur ke hari Sabtunya, jadi bangunnya jam 7. Bagaimana kalau ternyata justru tidurnya kelebihan, ada yang sampai 8 jam? Kalau bisa diambil dari jam tidur hari selanjutnya, bagus. Kalau tidak, ambil saja dari surplus 25 jam itu.

Bagaimana dengan kurangnya waktu untuk bekerja? Sebenarnya ada yang mengatakan, kalau otak dan fisik kita dipaksa bekerja lebih dari 10 jam sehari, kurang bagus juga. Tetapi kalau memang terpaksa, bisa tambah juga dari surplus 25 jam itu. Konsekwensinya, tidak bisa tambah jam tidur, mandinya jangan lama-lama, makannya jangan banyak-banyak (hehe....).

Ketika Allah mengatur bahwa kita hanya memiliki 24 jam sehari, Ia sudah tahu bahwa waktunya cukup bagi kita. Mengaturnya dengan bijaksana, dan melaksanakannya dengan disiplin, itu kuncinya. Tetapi memang, sebagaimana saya juga sering kehilangan kunci pintu, kunci motor, kunci lain-lain, saya juga sering kehilangan kunci pengaturan waktu itu.

Jadi, emang susah atur waktunya....

τον καιρον ξαγοραζόμενοι (take the most of every opportunity, manfaatkan waktu sebaik-baiknya)

Tuesday, November 13, 2007

Paspor Kedaluwarsa


“Saya tidak bermaksud menakut-nakuti penumpang, tetapi ada kebijakan bahwa pihak kami harus memberitahu kalau segala resiko yang akan terjadi harus Bapak tanggung sendiri. Silahkan Bapak check ini, lalu konfirmasikan kepada imigrasi.” Itu yang dikatakan oleh land crew dari maskapai penerbangan Merpati Air di Pelabuhan Udara International Ngurah Rai kepada saya ketika saya mau check in untuk penerbangan Denpasar ke Dili.

Merpati Air memang menjadi satu-satunya maskapai penerbangan regular yang melayani penerbangan dari dan ke Pelabuhan Udara Internasional Lobato, satu-satunya Pelabuhan Udara di Timor Leste. Merpati Air melayani penerbangan dari Denpasar ke Dili setiap hari, masing-masing 1 penerbangan.

Saya sudah membayangkan bahwa antrian untuk check in akan sangat panjang, karena memang hampir tidak ada pilihan lain untuk bisa mengunjungi Timor Leste kecuali dengan penerbangan itu. Karena itu, saya dengan sengaja datang sangat awal ke bandara bersama dengan teman-teman yang mengajak saya untuk perjalanan itu, Dong dan Chua dari Singapura dan Teo dari Hongkong.

Selain alasan itu, saya sengaja datang sangat awal karena tahu bahwa passport saya bermasalah. Peraturan Internasional mengatakan bahwa perjalanan ke luar dari sebuah negara hanya bisa dilakukan jika masa berlaku passport masih tersisa lebih dari 6 bulan. Saat itu, masa berlaku passport saya hanya tinggal 4 bulan.

Walaupun saya sudah tahu bahwa pasti akan ada kemungkinan saya tidak bisa berangkat karena masalah passport itu, tetapi peringatan dari land crew Merpati, yang kemudian diulangi lagi oleh petugas Imigrasi, sempat membuat saya hampir membatalkan perjalanan itu. Untungnya, dengan simpatik petugas Imigrasi mengatakan, “Bapak coba saja, ada kemungkinan Bapak bisa masuk ke sana. Kalau tidak, Bapak akan langsung naik pesawat yang sama untuk kembali ke sini.” Saya langsung memutuskan untuk tetap berangkat.

Dalam penerbangan, semakin mendekat ke Dili, hati saya semakin berdebar-debar. Bagaimanapun, dideportasi pasti tidak menyenangkan. Mr. Dong, teman dari Singapura yang sudah menjadi rekan sepetualangan, mulai dari pedalaman Aceh sampai ke hutan-hutan di Kalimantan, menggoda saya, “Orang yang dideportasi itu seperti selebriti. Dikawal pasukan bersenjata, masuk ke dalam pesawat. Dimana lagi kamu dapatkan hal yang seperti itu.”

Ketika saya melihat bahwa kebanyakan penjaga bandara adalah orang-orang kulit putih, saya sedikit merasa kurang nyaman. Bukan karena apa, tetapi saya merasa lebih ‘saudara’ dengan orang Timor asli, yang mengingatkan saya kepada teman-teman dari daerah Nusa Tenggara dibandingkan dengan orang-orang kulit putih, yang mengingatkan saya akan negeri yang jauh di Eropa sana. Untungnya, semua petugas imigrasi adalah putra-putri Timor Leste asli. Putra-putri dalam arti sebenarnya, karena kebanyakan mereka masih sangat muda, ramah dan simpatik. Ketika saya menyodorkan aplikasi visa, yang ‘harganya’ USD 35 dan paspor yang sebenarnya sudah kedaluwarsa itu, ia menerima dengan senyum.

Dengan ramah ia mencoba berbahasa Indonesia dengan saya. “Satu kali?” Saya maklum bahwa yang dimaksudkannya adalah untuk menanyakan apakah ini kunjungan pertama saya. Ketika saya menerangkan bahwa itu bukan kunjungan pertama, ia membolak-balik paspor saya untuk mencari data tentang kunjungan sebelumnya. Lalu ia langsung menandatangani visa, dan sayapun masuklah ke Timor Leste dengan paspor yang sebenarnya agak bermasalah.

Lain kali, tidak akan lagi ke Imigrasi dengan dokumen bermasalah. Rencanakan dan pastikan semuanya beres sebelum melangkah.

Penghuni Baru di Rumah


Ada penghuni baru di rumah. Namanya masih belum disepakati. Yosua punya usulan nama sendiri, Theresa punya usulan nama sendiri, dan nama yang dibawa penghuni itu dari tempat lamanya, juga beda. Masing-masing masih memanggil dengan nama yang berbeda.

Yosua (dengan dukungan dari saya sebagai ayah) memberi nama dia FLOPSY. Nama itu mengingatkan tentang nama hewan peliharaannya Bhumi, (temennya Ang), yang adalah rajanya pengendali tanah (bagi yang tidak "ngeh' dengan apa yang saya tulis, coba memanfaatkan kotak kaca bergambar yang ada di rumah dengan lebih baik. Kotak itu bukan pajangan, tetapi bisa keluar gambar kalau difungsikan).

Theresa mau memberi nama CHINNER. Anak ini memang kalau urusan memberi nama, lebih kreatif dibandingkan dengan semua penghuni rumah lainnya. Coba tanya nama-nama boneka kesayanganya, namanya bagus-bagus. Ada yang diberi nama Riri, Rori, (untuk aku tidak harus menyebut nama itu), dan juga banyak nama lainnya.

Kalau Mamaknya anak-anak, belum tahu yang mana usulannya. Kadang-kadang dia memanggil dengan nama "HUSSS!!" kadang-kadang dengan nama "HEI!!" tapi yang paling sering, ia memanggil dengan nama "KELUAR!!" atau "JANGAN MASUK".
Nama yang dibawa dari tempat asalnya adalah DOGGY. Agak katrok memang, karena di dunia ini pasti ada jutaan anjing yang bernama DOGGY. Terlalu ombyokan kesannya. Seperti nama CATTY untuk kucing (atau SIPUS dalam bahasa Indonesia). Kelihatannya, lambat laun, nama itu akan hilang.

Untuk sementara, masing-masing orang memanggil penghuni baru itu dengan nama pilihannya. Tetapi nanti nampaknya harus diputuskan satu nama untuk dia. Memang dia suka dipanggil apa saja. Dipanggil Flopsy dia datang, dipanggil Chinner, dia juga datang, bahkan diteriakin Huss, Hei atau Keluar, dia juga malah datang (Dasar anjing tidak punya pendirian!! Jangan-jangan dia juga punya pendapat sendiri tentang namanya).

Untungnya, perbedaan itu sama sekali tidak membawa masalah di dalam rumah. Padahal kami tinggal serumah, memakan makanan yang sama, minum dari sumber galon yang sama, mandi dari bak yang sama, dan banyak kesamaan lainnya. So, perbedaan bisa terjadi di mana saja. Itu sesuatu yang sangat normal. Tidak berarti keluarga tidak harmonis, karena adanya perbedaan.

Di tempat lain juga ada perbedaan. Tetapi adanya perbedaan tidak menjadi tanda tidak adanya kesatuan. Yang penting adalah memelihara kesatuan di dalam perbedaan itu.


Obsecro itaque vos ego vinctus in Domino ut digne ambuletis vocatione qua vocati estis (Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera).

Monday, November 5, 2007

Christo Rei yang Kesepian







Sekitar 2 kilometer dari kota Dili, Timor Leste, ada sebuah patung besar, yaitu patung Kristus berukuran 17 meter. Sebuah ukuran yang sangat spektakuler untuk sebuah patung Kristus, walaupun masih kalah besar dibandingkan dengan patung Christo Redentor di puncak gunung Corcovado, Rio de Jeneiro, Brazil, yang ukurannya adalah setinggi 38 meter. Patung itu dibangun pada jaman Indonesia, tepatnya pada jaman Orde Baru.



Pada masa itu, patung Cristo Rei (Kristus Raja) yang dikelilingi oleh pantai pasir putih yang sangat indah, menjadi salah satu wisata andalan Timor Timur (demikian namanya waktu masih menjadi propinsi ke-27 dari negara Indonesia). Menurut Manuel (bukan siapa-siapa, hanya penduduk lokal yang kebetulan lewat, jadi langsung ditanya), pada masa 'keemasannya', patung Christo Rei dan pantai pasir putihnya pernah dikunjungi oleh sekitar 2000 wisatawan, baik wisman (wisatawan mancanegara) maupun wislok (wisatawan lokal).



Tetapi pertengahan Oktober 2007, ketika saya ada di sana, tidak ada orang lain kecuali saya dan 3 orang teman (tentu saja ditambah dengan Manuel) yang ada di sana. Bahkan setelah ngos-ngosan naik ke puncak bukit itupun, tidak ada orang lain yang mengunjungi Christo Rei itu. Perjalanan ke sana memang membutuhkan waktu, energi, dan tentu saja tekad yang besar. Sebenarnya hampir menyerah di tengah perjalanan, tetapi karena 3 orang teman yang lebih senior masih nampak gagah perkasa mendaki (bahkan pakai ngobrol segala, padahal nafas saya hanya cukup untuk mengisi oksigen di kepala saja), akhirnya saya menguatkan hati, dan sampai di puncaknya. Pemandangan yang indah, patung Christo Rei yang megah, rasanya membayar lunas semua hutang energi dan waktu untuk mendaki ke sana. Memang energi untuk turun masih belum jelas bagaimana membayarnya :)



Di satu sisi, menyenangkan bahwa sebuah tempat wisata yang sangat luas dan megah seperti itu hanya dinikmati sendiri. Bahkan salah satu teman mengatakan, "Kalau di Singapore mau menikmati pantai begini sendirian saja, pasti harus membayar puluhan ribu dollar untuk memesan semua tempatnya." Namun saat itu, tempat yang sangat indah itu sudah ditinggalkan. Orang menjadi sangat sibuk dengan urusan lain, dan tertarik dengan hal-hal yang lain. Saya membayangkan, kalau di Timor Leste harga cat murah, bukan tidak mungkin para vandalis (tukang coret tembok liar) bisa jadi akan mulai menuliskan coretan mereka di sana. Untung harga cat di sana mahal, dan tidak semua orang bisa membelinya hanya untuk 'bersenang-senang' saja.



Tetapi di sisi lain, sebuah pelajaran terbersit di benak: Bahkan apa yang sangat indah dan dibanggakan, suatu saat akan menjadi sunyi dan ditinggalkan. Di dunia ini, apa sih yang yang bisa bertahan sampai kekekalan?