Thursday, November 22, 2007

Pudarnya Pamor sang Super Father


Salah satu cara untuk menjadi superhero secara mudah adalah dengan menjadi seorang ayah. Biar berapapun tingkat IQ yang dimiliki oleh seorang ayah, berapapun kekuatan tenaga seorang ayah, ia akan tetap mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang superhero, Super Father, di rumahnya sendiri. Seorang ayah akan dianggap paling tahu, paling kuat, paling hebat, khususnya di mata anak-anaknya.

Dalam beberapa tahun ini saya menikmati benar posisi sebagai Super Father di rumah. Dianggap paling banyak tahu, dianggap paling bisa menyelesaikan masalah yang muncul, dianggap paling bisa memberikan jawaban atas segala pertanyaan yang muncul. Seringkali dengan penuh kekaguman anak-anak bertanya "Kok Bapak tahu?" Dinikmati saja dengan penuh kebanggaan, walaupun pertanyaan yang diajukan hanya sederhana saja.

Waktu Yosua masih kecil dulu, ia mengagumi ayahnya yang tahu bahwa sebelum Indonesia dijajah Jepang, Indonesia terlebih dahulu dijajah Belanda. Ia juga kagum karena ayahnya bisa langsung menyebutkan bunyi Sila Keempat Pancasila, padahal ia menghafalkannya setengah mati. Ia juga kagum karena ayahnya bisa memasang baterei kamera tanpa terbalik. Betapa sangat enak untuk dinikmati kekaguman itu!!

Kekagumannya mulai meredup ketika suatu saat, ia melihat ayahnya mencoba menyusun Tamiya dan yang kemudian malah kelebihan spare part dan jalannya justru mundur!! Semakin meredup ketika ia melihat bahwa PR yang sudah dibantu oleh ayahnya, justru nilainya tidak seperti yang diharapkan (Sekarang, kalau ditawari bantuan mengerjakan PR, dengan sopan ia menjawab, "Nanti Pak, saya berusaha dulu, supaya bisa belajar sendiri." Anak yang sangat sopan!!)

Sedangkan untuk adiknya, ia masih memiliki sisa kekaguman kepada sang Super Father. Ia mengagumi ayahnya yang bisa menyanyikan lagi Ibu Kartini tanpa salah sedikitpun. Ia mengagumi ayahnya yang bisa membedakan anjing betina dengan anjing jantan ("Darimana Bapak bisa tahu?" Pertanyaan yang sulit!!!). Ia mengagumi ayahnya yang bisa memasang keran air di kamar mandi, sehingga keran yang tadinya bocor, tidak lagi bocor. Ia mengagumi ayahnya yang bisa menjawab pertanyaan, "Negara apa yang selalu ingin minum?" (Jawabannya gampang kok, Australia, Austria).

Kekagumannya mulai meredup ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat ayahnya memasang booster, tetapi gambar di TV sama sekali tidak bertambah jelas. Semakin meredup ketika tugas yang sudah ditandatangani oleh ayahnya, ternyata nilainya juga tidak sempurna.

Apalagi setelah merasakan ditinggal isteri selama beberapa hari, semakin menyadari bahwa ternyata gak ada yang namanya Super Father. Sungguh-sungguh sudah menyadari betapa bahkan seorang Super Father menjadi lemah dan tidak berdaya ketika ditinggalkan beberapa hari oleh isteri. Banyak sekali yang tidak tertangani, tidak tertata, tidak terselesaikan dengan baik ketika tidak ada isteri yang mendampingi. Bahkan perkara sederhana seperti kaos kaki dan makan pagi saja sudah repot, apalagi berbicara mengenai mengurus anak dan menyiapkan mereka ke sekolah. Merapikan rumah? Lebih baik tidak usah disebut-sebut. Mungkin harus mulai lebih menghargai sang Super Mother.


"Qui invenit mulierem invenit bonum et hauriet iucunditatem a Domino" (Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN)

No comments: