Tuesday, November 13, 2007

Paspor Kedaluwarsa


“Saya tidak bermaksud menakut-nakuti penumpang, tetapi ada kebijakan bahwa pihak kami harus memberitahu kalau segala resiko yang akan terjadi harus Bapak tanggung sendiri. Silahkan Bapak check ini, lalu konfirmasikan kepada imigrasi.” Itu yang dikatakan oleh land crew dari maskapai penerbangan Merpati Air di Pelabuhan Udara International Ngurah Rai kepada saya ketika saya mau check in untuk penerbangan Denpasar ke Dili.

Merpati Air memang menjadi satu-satunya maskapai penerbangan regular yang melayani penerbangan dari dan ke Pelabuhan Udara Internasional Lobato, satu-satunya Pelabuhan Udara di Timor Leste. Merpati Air melayani penerbangan dari Denpasar ke Dili setiap hari, masing-masing 1 penerbangan.

Saya sudah membayangkan bahwa antrian untuk check in akan sangat panjang, karena memang hampir tidak ada pilihan lain untuk bisa mengunjungi Timor Leste kecuali dengan penerbangan itu. Karena itu, saya dengan sengaja datang sangat awal ke bandara bersama dengan teman-teman yang mengajak saya untuk perjalanan itu, Dong dan Chua dari Singapura dan Teo dari Hongkong.

Selain alasan itu, saya sengaja datang sangat awal karena tahu bahwa passport saya bermasalah. Peraturan Internasional mengatakan bahwa perjalanan ke luar dari sebuah negara hanya bisa dilakukan jika masa berlaku passport masih tersisa lebih dari 6 bulan. Saat itu, masa berlaku passport saya hanya tinggal 4 bulan.

Walaupun saya sudah tahu bahwa pasti akan ada kemungkinan saya tidak bisa berangkat karena masalah passport itu, tetapi peringatan dari land crew Merpati, yang kemudian diulangi lagi oleh petugas Imigrasi, sempat membuat saya hampir membatalkan perjalanan itu. Untungnya, dengan simpatik petugas Imigrasi mengatakan, “Bapak coba saja, ada kemungkinan Bapak bisa masuk ke sana. Kalau tidak, Bapak akan langsung naik pesawat yang sama untuk kembali ke sini.” Saya langsung memutuskan untuk tetap berangkat.

Dalam penerbangan, semakin mendekat ke Dili, hati saya semakin berdebar-debar. Bagaimanapun, dideportasi pasti tidak menyenangkan. Mr. Dong, teman dari Singapura yang sudah menjadi rekan sepetualangan, mulai dari pedalaman Aceh sampai ke hutan-hutan di Kalimantan, menggoda saya, “Orang yang dideportasi itu seperti selebriti. Dikawal pasukan bersenjata, masuk ke dalam pesawat. Dimana lagi kamu dapatkan hal yang seperti itu.”

Ketika saya melihat bahwa kebanyakan penjaga bandara adalah orang-orang kulit putih, saya sedikit merasa kurang nyaman. Bukan karena apa, tetapi saya merasa lebih ‘saudara’ dengan orang Timor asli, yang mengingatkan saya kepada teman-teman dari daerah Nusa Tenggara dibandingkan dengan orang-orang kulit putih, yang mengingatkan saya akan negeri yang jauh di Eropa sana. Untungnya, semua petugas imigrasi adalah putra-putri Timor Leste asli. Putra-putri dalam arti sebenarnya, karena kebanyakan mereka masih sangat muda, ramah dan simpatik. Ketika saya menyodorkan aplikasi visa, yang ‘harganya’ USD 35 dan paspor yang sebenarnya sudah kedaluwarsa itu, ia menerima dengan senyum.

Dengan ramah ia mencoba berbahasa Indonesia dengan saya. “Satu kali?” Saya maklum bahwa yang dimaksudkannya adalah untuk menanyakan apakah ini kunjungan pertama saya. Ketika saya menerangkan bahwa itu bukan kunjungan pertama, ia membolak-balik paspor saya untuk mencari data tentang kunjungan sebelumnya. Lalu ia langsung menandatangani visa, dan sayapun masuklah ke Timor Leste dengan paspor yang sebenarnya agak bermasalah.

Lain kali, tidak akan lagi ke Imigrasi dengan dokumen bermasalah. Rencanakan dan pastikan semuanya beres sebelum melangkah.

No comments: