Sunday, November 25, 2007

Eulogi untuk Ibu Mertua


De mortuis nil nisi bonum dicendum est, sebuah kata bijak dari bahasa Latin, bahasa Inggrinya "Let nothing be said of the dead but what is good," (Jangan bicarakan apapun tentang almarhum selain kebaikannya). Bijaksana sekali. Di satu sisi, memang tidak ada gunanya berbicara mengenai apa yang buruk dari mereka yang sudah meninggal. Sudah terlambat, mereka tidak bisa memperbaiki diri. Di sisi lain, memang biasanya segala kebaikan akan muncul dengan lebih jelas justru setelah seseorang tidak ada lagi.

Tentang Ibu mertua saya, ia wanita yang luar biasa. Tentu saja ia tidak sempurna, tetapi ia tetaplah seorang wanita yang luar biasa. Ia adalah seorang wanita pekerja keras, dan hampir tidak mengenal takut. Ia siap untuk melakukan pekerjaan apapun yang halal, mengorbankan apapun yang bisa dikorbankan, demi keluarganya, khususnya anak-anaknya.

Dalam kenangan istri saya, ia sangat mengingat betapa Mamak berjuang keras. Ia tidak pernah akan bisa melupakan ingatan mengenai Mamak yang keluar dari rumah menenteng tas besar berisi barang belanjaan (pakaian yang dijual secara kredit) yang ditawarkan kepada orang-orang di kampung, di pasar, di manapun. Karena banyaknya pelanggan, ia harus berjalan kaki dari rumah ke rumah. Dalam beberapa kali perjalanan, ia sampai harus berjalan kaki sejauh 10 km!! Belum lagi, hampir setiap bulan ia harus pergi--sendirian--ke pasar Tanah Abang di Jakarta, naik kapal laut, untuk membeli pakaian grosir berkarung-karung. Ia memilih untuk membeli banyak sekaligus karena harga di Tanah Abang murah, sehingga masih ada keuntungan jika dijual kembali di Bangka. Sekali lagi, ia sendirian melakukannya. Ayah mertua saya orang kantoran di PT Timah, sehingga ia tidak bisa bebas mengantar Mamak.

Pengorbanan Mamak juga sangat luar biasa. Ia sudah bertahun-tahun terkena penyakit liver. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk terus berjuang. Ia sangat keras dalam mengajar anak-anaknya mengenai menabung. Tidak ada uang atau apapun yang bisa dihamburkan secara percuma. Memang terkesan pelit, tetapi dari hasilnya, rasanya sangat sepadan dengan disiplin itu.

Masih dalam kenangan istri saya, Mamak juga seorang yang sangat tinggi toleransi terhadap anak-anaknya. Berbicara mengenai menyakitkan hati Mamak, rasanya hampir semua pernah melakukannya. Bukan hanya anak-anaknya, tetapi juga para menantunya. Tetapi Mamak bisa menghadapi semuanya. Terhadap orang-orang lain, ia juga sangat toleransi. Ia bisa tetap bersikap ramah kepada mereka yang kurang disukainya.

Dalam kenangan saya, Mamak adalah mertua yang sangat perhatian. Ia tahu betul makanan kesukaan saya. Sungguh!! Dan rasanya, bukan makanan kesukaan saya saja. Ia juga ingat makanan kesukaan anak-anak saya. Setiap kali kami datang ke sana, selalu tersedia makanan kesukaan kami masing-masing. Bukan hanya sedikit, satu kuali!! Bukan itu saja, kalau Natal ada kiriman dari mertua, pasti ada makanan kesukaan saya, makanan kesukaan istri saya, makanan kesukaan anak-anak. Pasti itu. Ia tahu betul!!

Selain itu, ia rajin sekali menelpon. Hampir setiap bulan, ia akan menelpon ke Batu. Meskipun akhirnya kami yang membalas telpon ke sana, tetapi ia selalu ingin berkomunikasi, menanyakan kesehatan, memberikan salam-salam, membagikan cerita. Dalam beberapa bulan ke depan, kami pasti akan merindukan saat-saat dimana kami mendengar ia mengatakan, "Kalian bikin telpon ke sini aok?" ("Bikin telpon ke sini" tentu saja artinya adalah bahwa kami yang harus menelpon dia, bukan menyuruh kami membuat telpon).

Mamak juga sangat pengertian. Waktu baru mulai menikah, kami memang memulai kehidupan rumah tangga dalam keadaan sangat sederhana. Kalau Mamak mau datang, tentu saja seharusnya kami ikut menanggung sebagian ongkos. Tetapi ia sama sekali tidak mengharapkan hal itu. Ketika anak kami yang pertama--Yosua--lahir, misalnya. Berbulan-bulan ia menabung dan fund raising untuk perjalanan itu, sehingga ia bukan hanya menanggung sendiri biaya perjalanan bersama dengan ayah mertua, tetapi ia bahkan membawa oleh-oleh untuk kami. Setelah keadaan kami lebih baik, tentu saja masuk akal bahwa kami ikut memikul beban biaya perjalanan itu.

Mamak sangat suka mengunjungi keluarga. Pada masa tuanya sekalipun, ketika ia sendiri karena Ayah mertua sudah tidak ada lagi, ia tetap rajin mengadakan perjalanan mengunjungi keluarga. Tidak harus ada acara khusus. Ia hanya ingin berjalan dan bertemu dengan keluarga yang sangat dikasihinya. Bahkan di minggu ketika ia dipanggil Tuhan, sebenarnya ia sudah berencana untuk pergi ke Batu mengunjungi kami. ("Sekalian melihat rumah kalian," kata Mamak). Sayangnya itu tidak bisa terjadi karena kesibukan kami di minggu itu, dan juga karena kondisi kesehatan Mamak yang memburuk. Perjalanan itu diputuskan untuk ditunda dulu. Beberapa hari setelah itu, ia jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit.

Ternyata, sakit Mamak kali ini merupakan sakit yang terakhir. Pada hari Sabtu, 17 November 2007, Mamak dipanggil Tuhan, menyusul Ayah Mertua kami yang dipanggil 6 tahun yang lalu. Ia dimakamkan tepat di samping makam Ayah Mertua. Selamat jalan Mak...


Arga do di roha ni Jahowa hamamate ni angka na niasianna i (Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya)

No comments: