Wednesday, April 2, 2008

Menghargai yang Biasa Saja


Melihat rambutan yang bertumpuk-tumpuk di pasar, jadi ingat perjalanan ke Timor Leste waktu musim rambutan yang lalu.

Rambutan (Nephelium lappaceum) adalah buah yang memang sangat bejibun tersedia di tanah air tercinta ini. Namanya juga sangat Indonesia banget, rambutan, karena memang buah ini memiliki banyak rambut. Bahkan dalam bahasa International, buah ini juga diberi nama rambutan.

Musim panen ini, ada kesempatan untuk makan buah rambutan sampai batuk-batuk dalam perjalanan pulang ke rumah di Cilacap, karena memang di sebelah rumah ada pohon rambutan yang lagi panen, lagi banyak-banyaknya.

Tetapi di Timor Leste, kisahnya berbeda. Suatu siang, dalam perjalanan ke Liquica, Bp. Filomeno, Chefe Saude district Liquica (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Liquica), dengan bangga menceritakan bahwa di kebunnya, ia menanam 100 buah bibit rambutan. So what? Itu yang langsung kepikir. Apa istimewanya memiliki 100 pohon rambutan? Tetapi karena yang menceritakannya adalah seorang Chefe, harus ditanggapi dengan serius.

Tetapi pembicaraan itu lewat begitu saja, karena memang tidak terlalu nyambung dengan konteks perkunjungan. Bahkan selama hari itu, pembicaraan mengenai bibit rambutan sama sekali tidak muncul. Yang terus muncul adalah pembicaraan mengenai pembangunan klinik kecil di salah satu desa di ujung gunung (Lao Bara).

Esok harinya, baru menyadari betapa masuk akalnya Pak Filo memiliki kebanggaan memiliki 100 bibit pohon rambutan di kebunnya. Sempat pergi ke pasar sebentar. Mumpung tidak ada hujan batu, karena biasanya pasar ini menjadi lokasi hujan batu (Ini berbalikan dengan pepatah, hujan batu di negeri orang, pasti membuat ingin cepat pulang). Di pasar, ada ikatan-ikatan kecil buah rambutan, masing-masing isinya tiga buah rambutan. Harganya? Ini yang tidak masuk akal lagi, 3 buah rambutan dijual di pasar itu seharga US $ 1. Artinya? Tiga buah rambutan harganya Rp. 9.000. Artinya? Satu buah rambutan harganya Rp. 3.000. Gak bisa buat apa-apa selain geleng-geleng kepala. Di Batu, Rp. 3.000 sudah bisa makan rambutan 1 kilo.

Dengan Rp. 9.000, bisa makan rambutan sampai jadi mirip rambutan!! Langsung berpikir untuk bisnis buah rambutan, beli di Batu, jual di Dili. Haha... Pasti lumayan hasilnya.

Tetapi juga jadi mikir, betapa seringnya buah rambutan di sia-siakan, dibiarkan membusuk tanpa dimakan. Muncul rasa gak enak sama orang-orang di Dili, bahwa saya sering membuang sesuatu yang sangat ingin mereka nikmati, tetapi tidak bisa membelinya.

Kayaknya, bukan hanya rambutan lah. Banyak hal yang tidak kita hargai secara serius, karena jumlahnya yang berlimpah, sementara ada orang lain yang menjadikannya treasure, harta yang sangat berharga. Mulai menghargai sesuatu yang tersedia berlimpah, mungkin menjadi pilihan yang bagus. Siapa tahu suatu saat, apa yang berlimpah menjadi langka (kayak mitan, gas, kedelai, dll, dll).




2 comments:

Antown said...

itu kalo skali panen dapet berapa ton ya??

uisantosa said...

Kalau 1 pohon bisa menghasilkan 3 karung @ 20 kg, artinya 100 pohon Pak Filo akan menghasilkan 6 ton. Wah!! Lain kali harus lebih akrab sama Pak Filo, biar kebagian US $