Thursday, October 4, 2007

Tambah Usia dan Bijaksana


Di sela-sela seru-serunya pembicaraan dalam meeting, tiba-tiba 'nature call' (kebelet ke belakang). Kalau sudah begitu, apapun topik pembicaraannya, bagaimanapun serunya, sulit untuk bisa tetap bertahan di dalam ruangan. Tidak ada lain yang bisa dilakukan kecuali angkat kaki dan permisi 'ke belakang.' (Apalagi, dokter menganjurkan agar tidak menahan dorongan untuk ke belakang yang demikian, karena bisa berakibat kurang baik bagi kesehatan .....:) )


Di 'belakang' (kalau 'ke belakang,' pasti tujuan akhirnya adalah 'di belakang'), ada cermin di dekat tempat cuci tangan. Sebagaimana normalnya naluri manusia, kalau ada cermin di depannya, dan tidak ada orang di sekitarnya, ada hasrat untuk bercermin dan agak berlama-lama. Tiba-tiba tangan saya secara reflek mengibas rambut saya, karena saya melihat ada sesuatu yang berkilat di sana. "Paling-paling debu cat tembok yang rontok," itu yang langsung terbersit. Tetapi ternyata bukan!! Jauh lebih buruk dari itu. Bagian yang mengkilat itu ternyata bagian yang berasal dari diri saya sendiri. Beberapa helai rambut saya sudah berubah warna menjadi putih!!!


Memang gejala-gejala sudah muncul cukup lama, dan bahkan kalau diperhatikan baik-baik, uban itu sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu. Saya biasa membayar anak-anak untuk mencari uban di kepala, dengan bayaran cepek untuk satu rambut. Rasanya harus segera diadakan penyesuaian harga, karena kalau sekarang mematok harga yang sama, mungkin gaji sebulan hanya cukup untuk membayar 'ganti rugi' pencabutan uban itu. Wahhh!!


Bukannya takut menjadi tua, tetapi takut nampak tua saja. (Apa bedanya? Pasti ada. Tapi nanti, dicari dulu perbedaannya). Ketuaan ternyata terjadi secara otomatis. Sekarang sudah tidak ada yang bisa menahan saya untuk masuk ke dalam masa tua. Waktu rasanya memaksa saya untuk semakin hari menjadi semakin tua.


Jadi ingat sebuah kata bijak, "menjadi tua itu otomatis, menjadi dewasa itu proses." Menjadi tua itu bukan sesuatu yang bisa diatur. Waktu masih kecil, kepengin banget cepet menjadi orang tua; rasanya enak banget, bisa ngatu-ngatur, gak usah masuk sekolah, gak usah bikin PR, bisa cari duit. Tetapi keinginan itu tetap gak bisa mempercepat diri menjadi orang tua. Sekarang, malah jadi kepengin banget kembali menjadi muda; rasanya enak banget, gak usah mikir duit, gak usah harus kerja (hehe....), gak usah cepet capek dan sakit. Tetapi keinginan itu juga tidak bisa menahan deras lajunya pertambahan usia.


Tetapi menjadi dewasa itu proses, kadangkala memerlukan waktu yang cukup panjang, dan tidak sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Meski demikian, rasanya cukup adil kalau kita mengharapkan bahwa pertumbuhan kedewasaan seseorang berbanding lurus dengan pertambahan usianya. Kalau itu yang terjadi, maka tidak akan muncul perkataan 'kekanak-kanakan.' Tentu saja, kata ini hanya berlaku untuk orang yang tua, tetapi belum dewasa. Tidak ada anak-anak yang kekanak-kanakan, karena mereka memang anak-anak yang selayaknya berlaku sebagai anak-anak. Orang tua yang bersikap seperti anak-anak, itulah yang kekanak-kanakan.


Anak-anak yang bersikap sebagai anak-anak, itu lucu dan menggemaskan. Tetapi orang tua yang masih bersikap seperti anak-anak, kekanak-kanakan, tidak ada lucunya sama sekali, dan bahkan cenderung menyebalkan. Dari orang tua diharapkan ada karakter kedewasaan yang muncul, karena itulah yang sewajarnya. Mengenai jumlah dan kualitasnya, tentu saja bisa dimaklumi kalau berbeda dengan yang lain. Tetapi, yang namanya pemakluman, pasti bukanlah sebuah kewajaran. Yang wajar, ketika orang bertambah usia (dengan ciri-ciri fisiknya), sepantasnya orang bertambah juga karakter kedewasaannya.



Cum essem parvulus loquebar ut parvulus sapiebam ut parvulus cogitabam ut parvulus quando factus sum vir evacuavi quae erant parvuli (Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu)




No comments: