Tuesday, December 11, 2007

Tentang Natal (2)


Baru-baru ini 3 institusi di Amerika: Washington Health Center, Boston University dan Vanderbilt University, membuat sebuah pernyataan yang sangat menarik. Dalam penelitian mereka, bulan Desember adalah bulan puncak untuk serangan jantung. Artinya, pada bulan Desember, jumlah orang yang terkena serangan jantung lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Setelah dilakukan penyelidikan, itu terjadi karena di bulan Desember ada 2 hal yang sangat sering terjadi: Di satu sisi, tingkat stress meningkat dan di sisi lain orang cenderung kurang mengendalikan apa yang mereka makan.

Tingkat stress meningkat, karena pada bulan Desember banyak orang dipacu untuk mengumpulkan lebih banyak uang dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Di bulan Desember ada hari Natal, dan banyak sekali pengeluaran yang esktra terjadi di hari Natal itu: pernak-pernik Natal, pakaian untuk anak-anak, dan liburan--belum lagi di Amrik, Natal tiba pada musim dingin, sehingga ada pengeluaran ekstra lagi untuk hal itu.. Ini membuat banyak orang yang bekerja ekstra juga, agar cukup income untuk memenuhi keperluan yang sangat spesial itu.

Pengendalian pola makan juga menjadi sangat kendor di musim Natal. Di Amrik sana, perayaan yang pakai makan-makan sudah dimulai sejak Oktober, yaitu dengan hari raya All Saints Day (yang kemudian lebih dikenal sebagai Halloween). Lalu, ada Hari Raya Thanksgiving di bulan November (yang terkenal dengan makan kalkun utuh itu), dan kemudian tiba hari Natal, dengan pestanya sendiri, dan Tahun Baru, yang juga tidak kalah meriah. Banyak sekali alasan untuk mengatakan "sekali ini saja" dan kemudian mulai menyikat semua hidangan yang tersedia (ini juga motto dari mereka yang sedang berjuang untuk menguruskan badan "Sekali ini saja.")

Ini terjadi karena di dalam Natal sudah bercampur segala macam kepentingan. Di dalam Natal ada konsumerisme, yang membuat orang berbelanja berbagai macam hal yang kemudian tidak terpakai lagi, yang tentu saja sangat diwarnai oleh kemewahan dan kemahalan. (Kayaknya di Indonesia juga, kalau Natal barang-barang jadi mahal). Di dalam Natal juga ada sekularisme, yang membuat fokus Natal menjadi sangat tidak jelas. Justru yang muncul adalah "mini hedonisme" -- pesta dan perayaan-perayaan, yang selain mahal, juga membuat fisik tidak sehat, karena jarang ada pesta Natal yang makanannya adalah buah, tempe, sayur-sayuran, dan makanan sehat lainnya.

Natal tahun ini, siapkan jantung kita. Ini penting juga bagi kita di tempat kita. Kalau pergi ke supermarket, lihat baju bagus, tertarik. Tetapi kalau lemah jantung, lebih baik jangan lihat harganya. Kalau mau beli telor, beras, atau tepung, lebih baik minta tolong kepada yang jantungnya kuat. Begitu tanya harga, kalau jantung gak kuat, juga bisa berbahaya.

Dan untuk membuat jantung sehat, fokuskan Natal kita kepada apa yang memang paling utama yaitu kepada Dia yang kita peringati kelahiranNya di hari Natal itu.


"Quia natus est vobis hodie salvator qui est Christus Dominus in civitate David" (Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud)

Tentang Natal (1)


Kemarin di meeting room kantor sudah dipasangi pohon Natal dan banyak pernak-pernik Natal juga ditempel di banyak tempat. Menjadi terasa banget suasana Natal. Semua orang enjoy dengan suasana baru ini, karena memang musim Natal menjadi salah satu musim yang ditunggu-tunggu. Tetapi dari antara semua pernak-pernik Natal itu, akhirnya ada satu yang harus dilepaskan dari tempatnya. Ada apa? Apakah ada yang salah dengan hiasan Natal yang satu itu? Bukan! Tidak ada yang salah dengan hiasan Natal itu, karena memang itu hiasan Natal yag standar, sebuah lingkaran bergambar snowman dan Sinterklas. Lalu mengapa harus dilepaskan? Hiasan Natal itu harus dipindahkan karena letaknya yang mengganggu LCD projector. Tidak ada perdebatan apapun mengenai pemindahan itu, karena memang tidak ada yang mempermasalahkan tentang hiasan itu dan tentang lokasi pemasangannya.

In berbeda dengan yang terjadi di negeri Paman Sam, negara yang sering dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas Kristen. Coba minta Mas Google carikan kalimat "Nativity Scene Remove" (Pemindahan patung hiasan Natal), maka anda akan menemukan 318.000 entry. Mulai dari Ohio, Oklahoma, California, Michigan. Mulai dari perdebatan di Dewan Sekolah, Pengadilan, Condominium Management, Supermarket Management, Dewan Kota, dan banyak tempat lain, yang memperdebatkan tentang hiasan Natal. Nativity Scene (Hiasan yang berupa susunan patung-patung tentang kelahiran Yesus) menjadi pusat perdebatan.

Dunia memang mencoba untuk memindahkan semua yang berkaitan dengan Yesus Kristus dari musim Natal. Bukan hanya di negeri Paman Sam, tetapi juga di banyak negara lain. Natal Ok, asal tidak menyebut tentang Yesus. Tokoh utama Natal bukan lagi bayi Yesus, tetapi Sinterklas. (Bahkan Sinterklas juga ditolak di banyak tempat). Ada juga yang tokoh Natalnya adalah Mickey dan Minnie Mouse. Apa hubungannya Mickey dan Minnie Mouse dengan Natal? Gak jelas. Tetapi itulah yang sedang trend, secularisasi Natal.

Yang lebih aneh, sebuah keluarga Kristen dari Irak mengungsi ke Detroit, Michigan. Musim Natal tiba, mereka memasang patung Yesus, Maria, Yusuf, palungan, Sinterklas, ditambah dengan tokoh kontemporer seperti Mickey Mouse, Winnie the Pooh, dan sebuah patung rusa. Apartment Manager mereka menuliskan surat meminta mereka memindahkan patung Yusuf, Maria, Yesus, dan Sinterklas. Ironis, ketika di Irak, mereka bisa memajang patung itu, tetapi setelah di Michigan, mereka hanya memasang patung Mickey Mouse dan Minnie Mouse bermain bersama Winnie the Pooh di palungan dekat seekor rusa, di hari Natal.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua yang memiliki pandangan yang berbeda, tetapi perlu dipahami bahwa Christmas adalah "Mass of Christ" (upacara untuk Kristus). Meninggalkan Kristus dari Christmas adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Natal yang berarti "Kelahiran" adalah untuk memperingati kelahiran Yesus. Memisahkan Yesus dari Natal akan membuat kita memperingati hari Natal sebagai kelahiran tokoh yang lain, tidak masuk akal juga.

Jadi tetap saja ada satu Pribadi yang seharusnya menjadi pusat di hari Natal, Yesus. Menjadikan semua yang lain, Sinterklas--atau bahkan yang lebih buruk lagi: diri kita sendiri--menjadi pusat di hari Natal akan membuat Natal kita salah tempat. Itu akan membuat kita juga terlibat dalam menyingkirkan Yesus dari Natal.

Untung bahwa pemindahan hiasan Natal di meeting room terjadi hanya karena alasan teknis dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan alasan teologis, filsafat, atau alasan lain. Semua tetap sepakat untuk menjadikan Christmas ini sungguh-sungguh "Mass for the Christ" dan Natal ini semata-mata untuk memperingati kelahiran Yesus.



Wednesday, November 28, 2007

Apa Artinya Sebuah Nama?


Di rumah akhirnya disepakati secara tidak resmi bahwa nama anjing kami adalah Doki. Bukan Flopsy seperti usulan saya dan Yosua; bukan pula Chinner seperti usulan Theresa, dan bukan pula Hus, Keluar! seperti yang dikatakan isteri saya (meskipun ia masih tetap memanggil Doky dengan nama itu). Nama yang dipilih Doki, bukan Doggy. Tetap mengingatkan dia bahwa dirinya adalah seekor Dog, tetapi juga bahwa namanya sudah berubah karena ia sudah menjadi "anjing baru" (apakah ini cocok sebagai padanan untuk "manusia baru"? Saya kurang yakin, tetapi gak ada istilah lain).

Ratusan tahun lalu, Shakespeare, pujangga terkenal dari Inggris yang hidup pada peralihan Abad XVII (ia lahir tahun 1564 dan meninggal pada tanggal 23 April 1616), menuliskan sebuah naskah drama yang sangat terkenal. Drama itu berjudul Romeo and Juliet, sebuah kisah percintaan romantis-tragis. Salah satu pernyataannya yang kemudian menjadi sangat terkenal diucapkannya melalui mulut Juliet,

What's in a name?
That which we will call a rose.
By any other word would smell as sweet

(Terj bebas: Apa artinya nama?
Yang kita sebut sebagai mawar.
Dinamai apapun akan tetap sama harumnya)

Pernyataan itu kemudian diterima sebagai sebuah kebenaran yang hampir tidak pernah dipertanyakan. Biar apapun namanya, batu tetaplah keras. Biar apapun namanya, nasi empok tetap enak. Biar apapun namanya, mangga manalagi tetap the best fruit. Biar apapun namanya, sayur daun kates tetap is the best... (Hehe... subyektif banget).

Saya bukan Shakespeare dan tidak selevel sama sekali dengan dia, tetapi saya berani mengatakan bahwa ia tidak sepenuhnya benar. Saya yakin sekali bahwa nama memiliki makna yang sangat penting, khususnya bagi manusia. Bagi manusia, nama bukanlah hanya seperti selembar pakaian yang menempel tetapi tidak melekat kepada tubuh manusia. Ketika nama diberikan kepada seseorang, maka nama itu sudah menjadi bagian dari keberadaan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya, bahkan di dalam bahasa Indonesia, kita mengenal ada istilah 'nama besar' atau 'nama baik.' Memang tidak berarti ada sebuah nama yang lebih besar atau lebih baik dibandingkan nama lainnya, tetapi istilah itu menunjukkan bahwa nama bukanlah sekedar sebuah asesoris tambahan.

Setiap orang tua yang memberikan nama kepada anaknya--kalau ia berpikir panjang--tidak akan memberikan nama secara sembarangan. Ia akan berusaha memilih nama yang baik untuk anaknya, walaupun mungkin untuk mereka yang berlainan bahasa, nama itu mungkin menjadi tidak indah kedengarannya, (mis: nama Aristobulus (Roma 16:10), artinya adalah "Penasehat terbaik. Meski ia seorang yang baik, jarang orang Kristen di Indonesia memakai namanya. Mungkin karena takut dipanggil "Pak Bulus" yang sama sekali tidak indah). Memang ada juga orang-orang yang nyentrik, yang memberi nama anaknya dengan nama yang aneh-aneh. (Kalau mau lihat daftarnya, coba klik http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_nama_orang_yang_aneh). Tetapi mereka tergolong kepada orang yang aneh dan sangat tidak biasa.

Banyak orang Kristen yang memilihkan nama dari Alkitab untuk anak-anak mereka. Meskipun ada seorang teman yang anti melakukannya, sampai ia mengatakan, "Saya takut memberi nama anak saya dari nama Alkitab. Nanti kalau jadi penjahat, memalukan gereja saja." Tetapi saya memberi nama anak saya dengan keyakinan dan harapan bahwa anak saya menjadi anak yang baik dan berguna.

Nama anak saya yang pertama, Yosua Trubus Aji Santosa, memiliki nama yang sudah dipikirkan secara sungguh-sungguh. Yosua adalah seorang pahlawan Alkitab, namanya יְהוֹשֻׁעַ berarti Allah adalah Penyelamat. Trubus berarti "Bertunas." Aji berarti "Berharga" dan Santosa berarti "Kuat."

Nama anak saya yang kedua, Theresa Margaretha Palupi Sarwendah. Nama yang sangat panjang, karena memang diimport dari kedua sisi nenek moyang. Istri saya mengusulkan nama Theresa, yang diambil dari kata Yunani θερος (theros) "Musim Panas", atau kata θεριζω (therizo) "Menuai". Rupanya di Gerika sana, orang menuai pada musim panas. Dari pihak mertua sata mengusulkan nama Margaretha, yang diambil dari kata Yunani μαργαριτης (margarites) yang berarti "Mutiara." Dari orang tua saya mengusulkan nama "Palupi Sarwendah" yang sangat nJawani. Nama itu berarti Teladan (Palupi) dalam semua kebaikan (Sarwendah). Dari saya sendiri? Saya gak mengusulkan apa-apa, takut jadi tambah kepanjangan, nama itu sudah cukup panjang untuknya.

Nama-nama itu tentu saja sesuai dengan harapan kami sebagai orang tua, bahwa mereka akan menjadi orang-orang yang sepadan dengan nama yang mereka sandang. Sekarang, nama itu melekat kepada mereka, menjadi bagian dari identitas dasar mereka.

Di dalam Alkitab, nama juga memiliki makna yang sangat dalam. Nama selalu membuat kita menghubungkan dengan sebuah pribadi. Abraham, Ishak, Yakub, Daud, Salomo, Petrus, Paulus, bukanlah hanya sekedar serangkaian kata-kata. Mereka mewakili pribadi-pribadi yang sangat kita kenal.

Belum lagi berbicara mengenai nama yang sangat spesial, yang diberikan secara khusus kepada sang Juruselamat. Nama itu sudah diberikan kepadaNya bahkan sebelum Ia dilahirkan. Yusuf dan Maria tidak bisa memberi nama kepada Anak itu sekehendak hati mereka, karena nama bagi Dia sudah ditentukan. Nama itu menjadi jaminan yang besar bagi manusia.

So, mungkin batu karang tetap keras kalau disebut dengan nama yang lain, tetapi setiap kali kita menyebut batu karang, kita akan mengingat benda yang keras itu, bukan benda yang lainnya, karena nama "batu karang" memang sudah melekat kepada benda itu. Mawar tetap harum jika diberi nama yang lain; tetapi ketika kita menyebut kata "Mawar", yang muncul dalam pikiran selalu bunga yang harum itu, karena nama "Mawar" memang melekat kepada bunga itu.



Sunday, November 25, 2007

Eulogi untuk Ibu Mertua


De mortuis nil nisi bonum dicendum est, sebuah kata bijak dari bahasa Latin, bahasa Inggrinya "Let nothing be said of the dead but what is good," (Jangan bicarakan apapun tentang almarhum selain kebaikannya). Bijaksana sekali. Di satu sisi, memang tidak ada gunanya berbicara mengenai apa yang buruk dari mereka yang sudah meninggal. Sudah terlambat, mereka tidak bisa memperbaiki diri. Di sisi lain, memang biasanya segala kebaikan akan muncul dengan lebih jelas justru setelah seseorang tidak ada lagi.

Tentang Ibu mertua saya, ia wanita yang luar biasa. Tentu saja ia tidak sempurna, tetapi ia tetaplah seorang wanita yang luar biasa. Ia adalah seorang wanita pekerja keras, dan hampir tidak mengenal takut. Ia siap untuk melakukan pekerjaan apapun yang halal, mengorbankan apapun yang bisa dikorbankan, demi keluarganya, khususnya anak-anaknya.

Dalam kenangan istri saya, ia sangat mengingat betapa Mamak berjuang keras. Ia tidak pernah akan bisa melupakan ingatan mengenai Mamak yang keluar dari rumah menenteng tas besar berisi barang belanjaan (pakaian yang dijual secara kredit) yang ditawarkan kepada orang-orang di kampung, di pasar, di manapun. Karena banyaknya pelanggan, ia harus berjalan kaki dari rumah ke rumah. Dalam beberapa kali perjalanan, ia sampai harus berjalan kaki sejauh 10 km!! Belum lagi, hampir setiap bulan ia harus pergi--sendirian--ke pasar Tanah Abang di Jakarta, naik kapal laut, untuk membeli pakaian grosir berkarung-karung. Ia memilih untuk membeli banyak sekaligus karena harga di Tanah Abang murah, sehingga masih ada keuntungan jika dijual kembali di Bangka. Sekali lagi, ia sendirian melakukannya. Ayah mertua saya orang kantoran di PT Timah, sehingga ia tidak bisa bebas mengantar Mamak.

Pengorbanan Mamak juga sangat luar biasa. Ia sudah bertahun-tahun terkena penyakit liver. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk terus berjuang. Ia sangat keras dalam mengajar anak-anaknya mengenai menabung. Tidak ada uang atau apapun yang bisa dihamburkan secara percuma. Memang terkesan pelit, tetapi dari hasilnya, rasanya sangat sepadan dengan disiplin itu.

Masih dalam kenangan istri saya, Mamak juga seorang yang sangat tinggi toleransi terhadap anak-anaknya. Berbicara mengenai menyakitkan hati Mamak, rasanya hampir semua pernah melakukannya. Bukan hanya anak-anaknya, tetapi juga para menantunya. Tetapi Mamak bisa menghadapi semuanya. Terhadap orang-orang lain, ia juga sangat toleransi. Ia bisa tetap bersikap ramah kepada mereka yang kurang disukainya.

Dalam kenangan saya, Mamak adalah mertua yang sangat perhatian. Ia tahu betul makanan kesukaan saya. Sungguh!! Dan rasanya, bukan makanan kesukaan saya saja. Ia juga ingat makanan kesukaan anak-anak saya. Setiap kali kami datang ke sana, selalu tersedia makanan kesukaan kami masing-masing. Bukan hanya sedikit, satu kuali!! Bukan itu saja, kalau Natal ada kiriman dari mertua, pasti ada makanan kesukaan saya, makanan kesukaan istri saya, makanan kesukaan anak-anak. Pasti itu. Ia tahu betul!!

Selain itu, ia rajin sekali menelpon. Hampir setiap bulan, ia akan menelpon ke Batu. Meskipun akhirnya kami yang membalas telpon ke sana, tetapi ia selalu ingin berkomunikasi, menanyakan kesehatan, memberikan salam-salam, membagikan cerita. Dalam beberapa bulan ke depan, kami pasti akan merindukan saat-saat dimana kami mendengar ia mengatakan, "Kalian bikin telpon ke sini aok?" ("Bikin telpon ke sini" tentu saja artinya adalah bahwa kami yang harus menelpon dia, bukan menyuruh kami membuat telpon).

Mamak juga sangat pengertian. Waktu baru mulai menikah, kami memang memulai kehidupan rumah tangga dalam keadaan sangat sederhana. Kalau Mamak mau datang, tentu saja seharusnya kami ikut menanggung sebagian ongkos. Tetapi ia sama sekali tidak mengharapkan hal itu. Ketika anak kami yang pertama--Yosua--lahir, misalnya. Berbulan-bulan ia menabung dan fund raising untuk perjalanan itu, sehingga ia bukan hanya menanggung sendiri biaya perjalanan bersama dengan ayah mertua, tetapi ia bahkan membawa oleh-oleh untuk kami. Setelah keadaan kami lebih baik, tentu saja masuk akal bahwa kami ikut memikul beban biaya perjalanan itu.

Mamak sangat suka mengunjungi keluarga. Pada masa tuanya sekalipun, ketika ia sendiri karena Ayah mertua sudah tidak ada lagi, ia tetap rajin mengadakan perjalanan mengunjungi keluarga. Tidak harus ada acara khusus. Ia hanya ingin berjalan dan bertemu dengan keluarga yang sangat dikasihinya. Bahkan di minggu ketika ia dipanggil Tuhan, sebenarnya ia sudah berencana untuk pergi ke Batu mengunjungi kami. ("Sekalian melihat rumah kalian," kata Mamak). Sayangnya itu tidak bisa terjadi karena kesibukan kami di minggu itu, dan juga karena kondisi kesehatan Mamak yang memburuk. Perjalanan itu diputuskan untuk ditunda dulu. Beberapa hari setelah itu, ia jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit.

Ternyata, sakit Mamak kali ini merupakan sakit yang terakhir. Pada hari Sabtu, 17 November 2007, Mamak dipanggil Tuhan, menyusul Ayah Mertua kami yang dipanggil 6 tahun yang lalu. Ia dimakamkan tepat di samping makam Ayah Mertua. Selamat jalan Mak...


Arga do di roha ni Jahowa hamamate ni angka na niasianna i (Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya)

Thursday, November 22, 2007

Pudarnya Pamor sang Super Father


Salah satu cara untuk menjadi superhero secara mudah adalah dengan menjadi seorang ayah. Biar berapapun tingkat IQ yang dimiliki oleh seorang ayah, berapapun kekuatan tenaga seorang ayah, ia akan tetap mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang superhero, Super Father, di rumahnya sendiri. Seorang ayah akan dianggap paling tahu, paling kuat, paling hebat, khususnya di mata anak-anaknya.

Dalam beberapa tahun ini saya menikmati benar posisi sebagai Super Father di rumah. Dianggap paling banyak tahu, dianggap paling bisa menyelesaikan masalah yang muncul, dianggap paling bisa memberikan jawaban atas segala pertanyaan yang muncul. Seringkali dengan penuh kekaguman anak-anak bertanya "Kok Bapak tahu?" Dinikmati saja dengan penuh kebanggaan, walaupun pertanyaan yang diajukan hanya sederhana saja.

Waktu Yosua masih kecil dulu, ia mengagumi ayahnya yang tahu bahwa sebelum Indonesia dijajah Jepang, Indonesia terlebih dahulu dijajah Belanda. Ia juga kagum karena ayahnya bisa langsung menyebutkan bunyi Sila Keempat Pancasila, padahal ia menghafalkannya setengah mati. Ia juga kagum karena ayahnya bisa memasang baterei kamera tanpa terbalik. Betapa sangat enak untuk dinikmati kekaguman itu!!

Kekagumannya mulai meredup ketika suatu saat, ia melihat ayahnya mencoba menyusun Tamiya dan yang kemudian malah kelebihan spare part dan jalannya justru mundur!! Semakin meredup ketika ia melihat bahwa PR yang sudah dibantu oleh ayahnya, justru nilainya tidak seperti yang diharapkan (Sekarang, kalau ditawari bantuan mengerjakan PR, dengan sopan ia menjawab, "Nanti Pak, saya berusaha dulu, supaya bisa belajar sendiri." Anak yang sangat sopan!!)

Sedangkan untuk adiknya, ia masih memiliki sisa kekaguman kepada sang Super Father. Ia mengagumi ayahnya yang bisa menyanyikan lagi Ibu Kartini tanpa salah sedikitpun. Ia mengagumi ayahnya yang bisa membedakan anjing betina dengan anjing jantan ("Darimana Bapak bisa tahu?" Pertanyaan yang sulit!!!). Ia mengagumi ayahnya yang bisa memasang keran air di kamar mandi, sehingga keran yang tadinya bocor, tidak lagi bocor. Ia mengagumi ayahnya yang bisa menjawab pertanyaan, "Negara apa yang selalu ingin minum?" (Jawabannya gampang kok, Australia, Austria).

Kekagumannya mulai meredup ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat ayahnya memasang booster, tetapi gambar di TV sama sekali tidak bertambah jelas. Semakin meredup ketika tugas yang sudah ditandatangani oleh ayahnya, ternyata nilainya juga tidak sempurna.

Apalagi setelah merasakan ditinggal isteri selama beberapa hari, semakin menyadari bahwa ternyata gak ada yang namanya Super Father. Sungguh-sungguh sudah menyadari betapa bahkan seorang Super Father menjadi lemah dan tidak berdaya ketika ditinggalkan beberapa hari oleh isteri. Banyak sekali yang tidak tertangani, tidak tertata, tidak terselesaikan dengan baik ketika tidak ada isteri yang mendampingi. Bahkan perkara sederhana seperti kaos kaki dan makan pagi saja sudah repot, apalagi berbicara mengenai mengurus anak dan menyiapkan mereka ke sekolah. Merapikan rumah? Lebih baik tidak usah disebut-sebut. Mungkin harus mulai lebih menghargai sang Super Mother.


"Qui invenit mulierem invenit bonum et hauriet iucunditatem a Domino" (Siapa mendapat isteri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN)

Wednesday, November 21, 2007

Superhero yang Berkorban


Selasa, 20 November 2007, iseng-iseng nonton film kartun. Tentang superhero jadul yang ngetop waktu jaman-jaman SD dulu. The Justice League. Anggotanya jagoan-jagoan masa kecilku: Superman, Hawkman, Cyclone, Green Lantern, Flash dkk. Jadi ingat waktu masih SD, cepet-cepet mandi supaya bisa nonton TV tetangga yang hitam putih (Soalnya tetangga kasih aturan, yang belum mandi gak boleh masuk haha.....).

Kisahnya masih sangat klasik sekali, sang superhero melawan penjahat, superhero kalah duluan, tetapi kemudian menang secara spektakuler. Tetapi kisah sore itu ada perbedaan dengan kisah lainnya. Kisahnya mengenai Green Lantern (baru yakin kalau Green Lantern memang hijau beneran, dulu waktu di TV hitam putih, Green Lanternnya abu-abu) yang merasa bersalah karena menghancurkan sebuah planet berpenduduk 5 milyar jiwa. Padahal ia hanya dijebak saja. Green Lantern menembak sebuah pesawat penyelundup, tetapi pesawat penyelundup itu memakai ilusi sehingga seolah-olah tembakan Green Lantern mengenai sebuah planet yang langsung hancur seketika (Tidak perlu bertanya berapa besar planet itu, dan bagaimana sebuah tembakan bisa mengancurkannya. Ini film anak-anak, jadi jangan tanya macam-macam).

Penyelundup yang jahat itu justru membawa Green Lantern ke pengadilan antar galaksi. Karena merasa bersalah, Green Lantern menerim saja penangkapan dan menerima vonis hukuman pemusnahan. Saat itulah muncul Flash. Bukan Flash Gordon, tetapi Flash si manusia super cepat. Flash Gordon iu cerita yang lain lagi. (Rupanya bajunya Flash itu merah, aku pikir biru, sesuai dengan warna kesukaanku). Ia langsung mencoba mengajukan pembelaan terhadap Green Lantern. Hakim antar galaksi menerima Flash sebagai pembela, tetapi mereka juga menjelaskan aturan bagi pembela. Karena seorang pembela dianggap sudah berani membela sebuah kasus, maka ia harus berani juga menerima hukuman yang sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwanya. (Kalau ini diterapkan di jaman ini, rasanya banyak pembela yang akan lebih mendengar 'hati nurani'nya). Flash menerima syarat itu. Ternyata, Flash tidak bisa membuktikan Green Lantern tidak bersalah, sehingga mereka berdua akhirnya dimasukkan ke dalam tempat pemusnahan.

Kalau mereka musnah, maka kisah ini sudah menjadi tidak seru lagi. Dengan bantuan Hawkgirl, Manhunter dan Superman, mereka bisa membuktikan kalau Green Lantern tidak bersalah dan kemudian justru si penyelundup yang dimusnahkan. Horeee!!

Kisah yang sangat simple, tetapi tiba-tiba saya bisa melihat hubungannya dengan diri kita dan Pembela Agung kita. Ada beberapa perbandingan yang menarik.



  1. Keadaan kita mirip dengan Green Lantern, yaitu sama-sama menghadapi si pendakwa jahat. Green Lantern hanya difitnah oleh si penyelundup, sedangkan kita sungguh-sungguh jahat dan berdosa. Kita memang melakukan kejahatan dan dosa setiap hari sebagaimana yang didakwakan pendakwa kita.


  2. Flash membela dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tetapi saat ia melakukan pembelaan, ia tidak hanya mencoba menyelamatkan Green Lantern, tetapi ia juga berjuang sekuat tenaga menyelamatkan nyawanya sendiri. Pembela Agung kita menjadi pembela bagi kita dengan menyerahkan nyawaNya sendiri. Ketika membela kita, Ia tidak sedang mencoba menyelamatkan diriNya sama sekali, karena Ia justru sudah menanggung hukuman kita.

Flash melakukan pembelaan kepada Green Lantern karena ia sangat mengasihi rekannya itu. Tetapi setelah vonis dijatuhkan, ia tetap berusaha kabur dari penjara itu. Pembela Agung kita membela kita karena Ia sungguh-sungguh mengasihi kita, sehingga Ia sudah memberikan nyawaNya bahkan sebelum Ia melakukan pembelaan itu.


Maiorem hac dilectionem nemo habet ut animam suam quis ponat pro amicis suis (Orang yang paling mengasihi sahabat-sahabatnya adalah orang yang memberi hidupnya untuk mereka)

Wednesday, November 14, 2007

Khotbah di Blog


"Khotbah saya hari ini didasari oleh artikel di Blog saya. Saya akan menjelaskan lanjutannya, karena saya yakin anda sudah membaca Blog saya. "



Pendeta ke-PD-an. Tetapi mungkin suatu saat, di masa yang sangat futuristik, pendeta tidak perlu khotbah di mimbar, pasang saja di Blog. Asal jangan lupa cantumkan nomor rekening, supaya tetap ada persembahan yang bisa diberikan. Pujiannya? Pakai Karaoke Online, taruh running text juga siapa tahu ada jemaat yang belum hafal. Fellowshipnya? Itu yang tidak bisa digantikan, jadi kelihatannya, model gereja konvensional seperti yang ada sekarang masih yang paling cocok untuk Fellowship, Praise & Worship, Discipleship dan segala macam ___ship yang lain. Pokoknya masih paling Siiip lah...

Gak Ada Waktu?


Kenapa kadangkala kita merasa bahwa waktu kita sangat kurang sekali, ya? Kita sering 'kepepet' oleh waktu, dan bahkan sering juga 'kehabisan' waktu. Sebenarnya, setiap hari kita mendapatkan jatah waktu 24 jam. Semua orang yang lain di dunia ini juga mendapatkan jatah yang sama. Dalam satu minggu, kita semua mendapatkan waktu sebanyak 168 jam. Coba kita bayangkan pemakaian waktu kita dalam seminggu :



  1. Kalau dalam sehari kita tidur 8 jam, misalnya dari jam 10 malam sampai jam 6 pagi, (atau 6 jam tidur malam tambah 2 jam tidur siang), dalam satu minggu kita tidur 56 jam. Maka jumlah waktu kita dalam satu minggu masih tersisa 112 jam. (kalau sudah lewat 17 tahun, kelihatannya jarang yang tidur sampai 8 jam sehari).


  2. Kalau setiap hari (kecuali Minggu) kita bekerja 10 jam; yaitu 9 jam di kantor dan 1 jam di rumah (walaupun jarang ada yang menggunakan 10 jam pada hari Sabtu untuk kerja secara full, hanya untuk memudahkan penghitungan dan membayar kekurangan perhitungan seandainya di hari yang lain bekerja lebih dari 10 jam), dalam satu minggu kita bekerja 60 jam. Maka dalam satu minggu jumlah waktu yang tersisa masih ada 52 jam.

Itu dua kegiatan yang paling lama menyita waktu, dan yang harus terjadi setiap harinya, hampir tanpa ada kecuali. So, setelah dihitung, sebenarnya masih ada 52 jam waktu yang bisa kita pakai untuk Ibadah, untuk keluarga, dan untuk pribadi, untuk bertetangga, dan untuk lain-lainnya. Tetapi nampaknya, kita terus merasa sangat sibuk dan bahkan terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk apapun yang lain selain pekerjaan kita.

Rasanya tidak berdosa kalau kita mengambil waktu beberapa jam seminggu untuk menikmati kehidupan. Ada kisah mengenai seorang pemuda yang berkata kepada pendetanya, "Kita harus terus bekerja, karena Iblis terus sedang bekerja. Ia tidak pernah beristirahat, karena itu kita juga harus terus berjuang." Pendetanya dengan tenang menjawab, "Hanya Iblis yang tidak beristirahat. Kalau manusia tidak mau beristirahat, jangan-jangan ada pengaruh Iblis di dalam orang itu."

Kuncinya adalah pengaturan waktu. Kalau semua waktu tidur dan waktu kerja itu tidak bisa kita kurangi, kita toh masih memiliki 52 jam.



  1. Kalau 5% saja dari waktu luang itu yang kita pakai untuk pribadi, kita punya waktu 2,5 jam seminggu untuk pribadi.


  2. 20% kita pakai untuk keluarga, kita punya hampir 11 jam dengan keluarga, hampir 1,5 jam setiap hari bercengkrama dengan keluarga. Not bad at all.


  3. 25% untuk ibadah, berarti ada waktu 13 jam setiap minggu untuk Devotion dan Ibadah (ada yang kurang dari itu?).

Setelah dihitung-hitung, masih ada sisa 25 jam!! Wah, mau ngapain kita 25 jam. Mandi, makan, baca buku, apa lagi ya??? Wah, ternyata, dalam perhitungannya, untuk menghabiskan sisa waktu itu sama susahnya dengan untuk menyisihkan waktu dari kesibukan kita.

Bagaimana kalau ternyata ada perhitungan yang meleset? Kalau sehari tidurnya tidak 8 jam, tetapi ada yang hanya 7 jam? Dari pada repot, tambahkan saja surplus jam tidur ke hari Sabtunya, jadi bangunnya jam 7. Bagaimana kalau ternyata justru tidurnya kelebihan, ada yang sampai 8 jam? Kalau bisa diambil dari jam tidur hari selanjutnya, bagus. Kalau tidak, ambil saja dari surplus 25 jam itu.

Bagaimana dengan kurangnya waktu untuk bekerja? Sebenarnya ada yang mengatakan, kalau otak dan fisik kita dipaksa bekerja lebih dari 10 jam sehari, kurang bagus juga. Tetapi kalau memang terpaksa, bisa tambah juga dari surplus 25 jam itu. Konsekwensinya, tidak bisa tambah jam tidur, mandinya jangan lama-lama, makannya jangan banyak-banyak (hehe....).

Ketika Allah mengatur bahwa kita hanya memiliki 24 jam sehari, Ia sudah tahu bahwa waktunya cukup bagi kita. Mengaturnya dengan bijaksana, dan melaksanakannya dengan disiplin, itu kuncinya. Tetapi memang, sebagaimana saya juga sering kehilangan kunci pintu, kunci motor, kunci lain-lain, saya juga sering kehilangan kunci pengaturan waktu itu.

Jadi, emang susah atur waktunya....

τον καιρον ξαγοραζόμενοι (take the most of every opportunity, manfaatkan waktu sebaik-baiknya)

Tuesday, November 13, 2007

Paspor Kedaluwarsa


“Saya tidak bermaksud menakut-nakuti penumpang, tetapi ada kebijakan bahwa pihak kami harus memberitahu kalau segala resiko yang akan terjadi harus Bapak tanggung sendiri. Silahkan Bapak check ini, lalu konfirmasikan kepada imigrasi.” Itu yang dikatakan oleh land crew dari maskapai penerbangan Merpati Air di Pelabuhan Udara International Ngurah Rai kepada saya ketika saya mau check in untuk penerbangan Denpasar ke Dili.

Merpati Air memang menjadi satu-satunya maskapai penerbangan regular yang melayani penerbangan dari dan ke Pelabuhan Udara Internasional Lobato, satu-satunya Pelabuhan Udara di Timor Leste. Merpati Air melayani penerbangan dari Denpasar ke Dili setiap hari, masing-masing 1 penerbangan.

Saya sudah membayangkan bahwa antrian untuk check in akan sangat panjang, karena memang hampir tidak ada pilihan lain untuk bisa mengunjungi Timor Leste kecuali dengan penerbangan itu. Karena itu, saya dengan sengaja datang sangat awal ke bandara bersama dengan teman-teman yang mengajak saya untuk perjalanan itu, Dong dan Chua dari Singapura dan Teo dari Hongkong.

Selain alasan itu, saya sengaja datang sangat awal karena tahu bahwa passport saya bermasalah. Peraturan Internasional mengatakan bahwa perjalanan ke luar dari sebuah negara hanya bisa dilakukan jika masa berlaku passport masih tersisa lebih dari 6 bulan. Saat itu, masa berlaku passport saya hanya tinggal 4 bulan.

Walaupun saya sudah tahu bahwa pasti akan ada kemungkinan saya tidak bisa berangkat karena masalah passport itu, tetapi peringatan dari land crew Merpati, yang kemudian diulangi lagi oleh petugas Imigrasi, sempat membuat saya hampir membatalkan perjalanan itu. Untungnya, dengan simpatik petugas Imigrasi mengatakan, “Bapak coba saja, ada kemungkinan Bapak bisa masuk ke sana. Kalau tidak, Bapak akan langsung naik pesawat yang sama untuk kembali ke sini.” Saya langsung memutuskan untuk tetap berangkat.

Dalam penerbangan, semakin mendekat ke Dili, hati saya semakin berdebar-debar. Bagaimanapun, dideportasi pasti tidak menyenangkan. Mr. Dong, teman dari Singapura yang sudah menjadi rekan sepetualangan, mulai dari pedalaman Aceh sampai ke hutan-hutan di Kalimantan, menggoda saya, “Orang yang dideportasi itu seperti selebriti. Dikawal pasukan bersenjata, masuk ke dalam pesawat. Dimana lagi kamu dapatkan hal yang seperti itu.”

Ketika saya melihat bahwa kebanyakan penjaga bandara adalah orang-orang kulit putih, saya sedikit merasa kurang nyaman. Bukan karena apa, tetapi saya merasa lebih ‘saudara’ dengan orang Timor asli, yang mengingatkan saya kepada teman-teman dari daerah Nusa Tenggara dibandingkan dengan orang-orang kulit putih, yang mengingatkan saya akan negeri yang jauh di Eropa sana. Untungnya, semua petugas imigrasi adalah putra-putri Timor Leste asli. Putra-putri dalam arti sebenarnya, karena kebanyakan mereka masih sangat muda, ramah dan simpatik. Ketika saya menyodorkan aplikasi visa, yang ‘harganya’ USD 35 dan paspor yang sebenarnya sudah kedaluwarsa itu, ia menerima dengan senyum.

Dengan ramah ia mencoba berbahasa Indonesia dengan saya. “Satu kali?” Saya maklum bahwa yang dimaksudkannya adalah untuk menanyakan apakah ini kunjungan pertama saya. Ketika saya menerangkan bahwa itu bukan kunjungan pertama, ia membolak-balik paspor saya untuk mencari data tentang kunjungan sebelumnya. Lalu ia langsung menandatangani visa, dan sayapun masuklah ke Timor Leste dengan paspor yang sebenarnya agak bermasalah.

Lain kali, tidak akan lagi ke Imigrasi dengan dokumen bermasalah. Rencanakan dan pastikan semuanya beres sebelum melangkah.

Penghuni Baru di Rumah


Ada penghuni baru di rumah. Namanya masih belum disepakati. Yosua punya usulan nama sendiri, Theresa punya usulan nama sendiri, dan nama yang dibawa penghuni itu dari tempat lamanya, juga beda. Masing-masing masih memanggil dengan nama yang berbeda.

Yosua (dengan dukungan dari saya sebagai ayah) memberi nama dia FLOPSY. Nama itu mengingatkan tentang nama hewan peliharaannya Bhumi, (temennya Ang), yang adalah rajanya pengendali tanah (bagi yang tidak "ngeh' dengan apa yang saya tulis, coba memanfaatkan kotak kaca bergambar yang ada di rumah dengan lebih baik. Kotak itu bukan pajangan, tetapi bisa keluar gambar kalau difungsikan).

Theresa mau memberi nama CHINNER. Anak ini memang kalau urusan memberi nama, lebih kreatif dibandingkan dengan semua penghuni rumah lainnya. Coba tanya nama-nama boneka kesayanganya, namanya bagus-bagus. Ada yang diberi nama Riri, Rori, (untuk aku tidak harus menyebut nama itu), dan juga banyak nama lainnya.

Kalau Mamaknya anak-anak, belum tahu yang mana usulannya. Kadang-kadang dia memanggil dengan nama "HUSSS!!" kadang-kadang dengan nama "HEI!!" tapi yang paling sering, ia memanggil dengan nama "KELUAR!!" atau "JANGAN MASUK".
Nama yang dibawa dari tempat asalnya adalah DOGGY. Agak katrok memang, karena di dunia ini pasti ada jutaan anjing yang bernama DOGGY. Terlalu ombyokan kesannya. Seperti nama CATTY untuk kucing (atau SIPUS dalam bahasa Indonesia). Kelihatannya, lambat laun, nama itu akan hilang.

Untuk sementara, masing-masing orang memanggil penghuni baru itu dengan nama pilihannya. Tetapi nanti nampaknya harus diputuskan satu nama untuk dia. Memang dia suka dipanggil apa saja. Dipanggil Flopsy dia datang, dipanggil Chinner, dia juga datang, bahkan diteriakin Huss, Hei atau Keluar, dia juga malah datang (Dasar anjing tidak punya pendirian!! Jangan-jangan dia juga punya pendapat sendiri tentang namanya).

Untungnya, perbedaan itu sama sekali tidak membawa masalah di dalam rumah. Padahal kami tinggal serumah, memakan makanan yang sama, minum dari sumber galon yang sama, mandi dari bak yang sama, dan banyak kesamaan lainnya. So, perbedaan bisa terjadi di mana saja. Itu sesuatu yang sangat normal. Tidak berarti keluarga tidak harmonis, karena adanya perbedaan.

Di tempat lain juga ada perbedaan. Tetapi adanya perbedaan tidak menjadi tanda tidak adanya kesatuan. Yang penting adalah memelihara kesatuan di dalam perbedaan itu.


Obsecro itaque vos ego vinctus in Domino ut digne ambuletis vocatione qua vocati estis (Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera).

Monday, November 5, 2007

Christo Rei yang Kesepian







Sekitar 2 kilometer dari kota Dili, Timor Leste, ada sebuah patung besar, yaitu patung Kristus berukuran 17 meter. Sebuah ukuran yang sangat spektakuler untuk sebuah patung Kristus, walaupun masih kalah besar dibandingkan dengan patung Christo Redentor di puncak gunung Corcovado, Rio de Jeneiro, Brazil, yang ukurannya adalah setinggi 38 meter. Patung itu dibangun pada jaman Indonesia, tepatnya pada jaman Orde Baru.



Pada masa itu, patung Cristo Rei (Kristus Raja) yang dikelilingi oleh pantai pasir putih yang sangat indah, menjadi salah satu wisata andalan Timor Timur (demikian namanya waktu masih menjadi propinsi ke-27 dari negara Indonesia). Menurut Manuel (bukan siapa-siapa, hanya penduduk lokal yang kebetulan lewat, jadi langsung ditanya), pada masa 'keemasannya', patung Christo Rei dan pantai pasir putihnya pernah dikunjungi oleh sekitar 2000 wisatawan, baik wisman (wisatawan mancanegara) maupun wislok (wisatawan lokal).



Tetapi pertengahan Oktober 2007, ketika saya ada di sana, tidak ada orang lain kecuali saya dan 3 orang teman (tentu saja ditambah dengan Manuel) yang ada di sana. Bahkan setelah ngos-ngosan naik ke puncak bukit itupun, tidak ada orang lain yang mengunjungi Christo Rei itu. Perjalanan ke sana memang membutuhkan waktu, energi, dan tentu saja tekad yang besar. Sebenarnya hampir menyerah di tengah perjalanan, tetapi karena 3 orang teman yang lebih senior masih nampak gagah perkasa mendaki (bahkan pakai ngobrol segala, padahal nafas saya hanya cukup untuk mengisi oksigen di kepala saja), akhirnya saya menguatkan hati, dan sampai di puncaknya. Pemandangan yang indah, patung Christo Rei yang megah, rasanya membayar lunas semua hutang energi dan waktu untuk mendaki ke sana. Memang energi untuk turun masih belum jelas bagaimana membayarnya :)



Di satu sisi, menyenangkan bahwa sebuah tempat wisata yang sangat luas dan megah seperti itu hanya dinikmati sendiri. Bahkan salah satu teman mengatakan, "Kalau di Singapore mau menikmati pantai begini sendirian saja, pasti harus membayar puluhan ribu dollar untuk memesan semua tempatnya." Namun saat itu, tempat yang sangat indah itu sudah ditinggalkan. Orang menjadi sangat sibuk dengan urusan lain, dan tertarik dengan hal-hal yang lain. Saya membayangkan, kalau di Timor Leste harga cat murah, bukan tidak mungkin para vandalis (tukang coret tembok liar) bisa jadi akan mulai menuliskan coretan mereka di sana. Untung harga cat di sana mahal, dan tidak semua orang bisa membelinya hanya untuk 'bersenang-senang' saja.



Tetapi di sisi lain, sebuah pelajaran terbersit di benak: Bahkan apa yang sangat indah dan dibanggakan, suatu saat akan menjadi sunyi dan ditinggalkan. Di dunia ini, apa sih yang yang bisa bertahan sampai kekekalan?









Sunday, October 21, 2007

Bon Dia, Senor



Perjalanan ke Timor Leste mengingatkan tentang sebuah pelajaran lama, "Jangan EsTe" (Sok Tehu). Sejak pertama kali datang di Lobato Airport, Dili, salam yang didengar adalah "Bon Dia!!" Karena seringnya mendengar salam itu, yang langsung hinggap di dalam pikiran adalah bahwa kata "Bon Dia" merupakan bahasa Porto dari "Hello!!" di dalam Bahasa Inggris. Dengan sangat PeDe, mulai kedua, dimulailah pengobralan "Bon Dia" di mana-mana. Salam pun bersambut, dan membuat level PeDe menjadi semakin bertambah. Tetapi semakin sore, kelihatannya tingkat sambutan orang untuk salam itu juga semakin bervariasi. Mulai dari yang bengong, tidak menjawab, sampai yang tertawa nyengir. Mulai muncul perasaan kurang senang dan berpikir bahwa masyarakat di Dili lebih ramah dibandingkan dengan masyarakat Liquica, karena masyarakat Dili selalu membalas salam, sedangkan masyarakat di Liquica tidak.

Tetapi demi menunjukkan keramah-tamahan produksi Indonesia, salam "Bon Dia" terus ditebar, walau sambutannya memang tetap tidak memuaskan. Apa yang salah? Mengapa keramah-tamahan tingkat tinggi yang ditunjukkan, tidak mendapatkan sambutan yang baik?

Untung bertemu dengan Yuda, pria lajang asal Kopeng, Salatiga, Jateng, yang sudah ada di Fatunao (salah satu desa di Bazartete, Distrik Liquica) selama lebih dari 2 tahun. Setelah mengajukan komplain atas tidak lakunya keramah-tamahan produksi dalam negeri, baru ngeh bahwa "Bon Dia" bukanlah "Hallo", tetapi "Selamat Pagi." Makanya salam "Bon Dia" tidak laku di siang dan sore hari, karena seharusnya "Bo Tarda".

Hari ketiga, semua keramah-tamahan produksi Indonesia terjual abiesss, Bon Dia dan Bo Tarda laku keras, sambutan atas salam selalu ramah dan meriah. Tetapi harus langsung diteruskan dengan kata "La Kompriende Porto" (Gak ngerti bahasa Porto), sebelum overload.

Ahh. Keramah-tamahan memang tidak mengenal perbedaan, selalu laku di mana-mana, bahkan di negeri yang sedang dirundung kerusuhan seperti Timor Leste.

Obrigada Barrak, Thank you very much, Terima kasih banyak,


Wednesday, October 10, 2007

Kebaktian Kesembuhan Dibatalkan


"Kebaktian Kesembuhan dibatalkan. Pak Pendeta sedang cuti karena sakit."

Tuesday, October 9, 2007

Bill Gates Miskin (?)


William Henry Gates III, atau yang biasa dikenal dengan nama Bill Gates, identik dengan kekayaan. Majalah Forbes menulis bahwa ia memiliki kekayaan sebesar US$ 59 milliar, setara dengan Rp. 531.000.000.000.000 (Ngitungnya susah, karena kalkulator di HP gak cukup, juga kalkulator 10 digit malah jadi error). Uang sebanyak itu, kalau dibelikan es cendol, bisa buat ngisi Danau Toba sampai penuh sehingga wisata di sana akan menjadi wisata renang es cendol. Pendapatan bersih Kekayaan ini didapat dari penjualan segala sesuatu yang berkenaan dengan Microsoft, yang tahun ini saja sudah meraup keuntungan bersih US$ 14 milliar.

Kaya? Wah, bukan lagi kaya, tetapi sangat kuayyyaaaa sekali! Tetapi hari ini, 10 Oktober 2007, Bill Gates kena batunya. Visanya untuk berkunjung ke Nigeria ditolak karena ia dianggap miskin!!! Bill Gates tidak bisa membuktikan bahwa ia hanya akan tinggal beberapa hari di Nigeria, dan bahwa ia sanggup mencukupi keperluan hidupnya selama berada di Nigeria. Imigrasi Nigeria menolak visanya karena khawatir "akan membebani masalah sosial dan keimigrasian negeri itu" (mengutip detik.com).

Berita ini dimuat di banyak website, sehingga kalau googling dengan mengetik "Bill Gates Nigeria Visa" akan ditemukan banyak artikel tentang peristiwa yang memalukan dan sekaligus lucu ini. Untung saja, agen travelnya, CIBT, melihat masalah ini, dan langsung memberikan garansi pertanggungan untuk Mr. Bill Gates. Dan tidak lama kemudian, pegawai Microsoft dan CIBT menunjukkan surat dari Bank yang menunjukkan bahwa Bill Gates adalah orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik.

Tentu saja berita ini mendapatkan komentar yang luar biasa dari para netter. Ada yang mengatakan bahwa seharusnya Bill Gates tidak datang dengan meminta visa, tetapi Nigeria dibeli dulu, baru dikunjungi, pasti gak ada masalah. Ada juga yang mengatakan bahwa pemerintah Nigeria pasti juengkel banget dengan Microsoft Office (bajakan) yang sering ngadat, jadi mereka membalas langsung kepada pembuatnya.

Apapun yang terjadi, ini menunjukkan bahwa tidak ada apapun yang bisa menjamin tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan bagi orang sekaliber Bill Gates. Teorinya, ia bisa degan mudah mendapatkan visa untuk masuk ke negara manapun. Tetapi di negara yang pendapatan per kapita penduduknya nangkring di urutan 165 (Indonesia berjaya di urutan 114), permohonan visanya ditolak karena ia dianggap miskin. So how?

Sinusitis Kehujanan


Kadang kala, ada waktunya saya merasa bahwa hidung saya hanya menjadi sekedar dekorasi pelengkap di wajah. Karena sinusitis, maka hidung yang seharusnya berfungsi dengan baik, kemudian malah menjadi gerbang masuknya sumber penyakit. Apalagi kalau musim kemarau atau kalau pas Gunung Semeru bersin, sinusitis di hidung juga ikut bertingkah.

Sebenarnya ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah melakukan operasi tulang hidung. Sinusitis di hidung saya adalah karena (menurut dokter) tulang hidung saya bengkok. Lobang yang sebelah menjadi menyempit dan gampang radang, yang menimbulkan infeksi. Alternatif pertama ini kurang menggiurkan bagi saya. Saya tidak mau hidung saya dipermak, dipotong, atau diamplas supaya lurus. Saya merasa walaupun banyak komedo, bentuk hidung saya sudah oke. Kalau dipermak, jangan-jangan hidung saya jadi berubah, (dan hoki juga berubah)

Alternatif yang kedua adalah memakai masker penutup hidung. Walaupun ini murah, meriah, mudah, tetapi sama sekali tidak indah. Ada beberapa kekhawatiran yang muncul di benak saya. Lha sekarang, waktu saya masih bisa terlihat senyum dan nyengir menyapa orang, masih ada beberapa yang cuek. Kalau saya pakai masker, gak ada orang yang melihat saya senyum, biar saya nyengir sampai maskernya sobek, lebih sedikit orang yang menanggapi sapaan saya. Saya juga tidak mau orang menganggap saya lari dari karantina RS Paru. Jangan-jangan begitu melihat orang pakai masker, langsung dianggap mengidap TBC, flu, atau BM kronis (Bau Mulut parah). Kekhawatiran yang lain adalah jangan-jangan ada yang menganggap saya tidak PeDe dengan wajah saya sendiri, sehingga saya harus pakai masker begitu. (Kayaknya itu sindrom para teroris. Karena gak PeDe dengan wajah, mereka pasti pakai masker, kasihan, sampai gak ingin hidup lebih lama dengan wajah yang begitu. Lebih baik mati daripada memakai wajah yang itu).

Saya bukan mau komplain, justru mau bersyukur bahwa akhirnya musim hujan tiba. Hujan mengusir debu, sehingga udara menjadi lebih bersih dan lebih bisa dinikmati. Hujan membuat keadaan menjadi lebih sejuk dan bahkan cenderung dingin. Nyaman.

Lalu bagaimana kalau hujan ternyata juga membuat orang terkena flu, pilek yang juga akan menyengsarakan penderita sinusitis? Itu nanti saja! Itu cerita lain lagi! Jangan mengingatkan akan kesengsaraan yang belum datang. Yang penting, syukuri dulu apa yang ada di depan mata. :) Orang Gerika bilang, "αρκετον τη ημέρα η κακία αυτης" (arketon te hemera he kakia autes). "Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."




Sunday, October 7, 2007

Tembok, Tembok, Tembok


Sweet seventeen!! Bulan ini, bangsa Jerman memperingati tujuh belas tahun reunifikasi (penggabungan kembali) bangsa mereka. Setelah puluhan tahun terpisah menjadi dua negara (Jerman Barat dan Jerman Timur), akhirnya pada bulan Oktober (tepatnya tanggal 3 Oktober 1990), bangsa itu menjadi satu bangsa yang utuh kembali, Jerman.

Proses penggabungan kembali itu ditandai dengan diruntuhkannya tembok yang sangat terkenal, yaitu tembok Berlin. Sebuah lambang perbedaan dan keterpisahan yang berdiri teguh selama puluhan tahun, akhirnya runtuh. Dengan robohnya tembok itu, berakhir pula masa keterpisahan dan masa pembedaan di antara bangsa Jerman.

Meski pada awalnya banyak juga pihak yang menentang (termasuk, tentu saja, pihak sponsor tembok itu, Kremlin), tetapi akhirnya sebagian besar orang bersukacita ketika tembok itu hancur. Orang berbondong-bondong datang untuk datang ke lokasi tembok berlin, untuk mengambil secuil ikon bersejarah itu. Sampai-sampai, ada yang punya naluri bisnis, menjual bongkahan batu bata bekas tembok itu sebagai souvenir. Sayangnya, seperti biasa, kalau ada souvenir asli, ada juga souvenir yang asli. Malah ada yang mengatakan bahwa kalau souvenir batu bata bekas tembok Berlin dikumpulkan, bisa untuk membangun tembok yang sama dengan ketebalam tiga kali lipat dari aslinya (hehe... Indonesia masih mendingan, CD bajakan dan teknologi tiruan. Di Jerman, bisanya cuma bikin batu bata bajakan).

Tembok memang dibuat selalu untuk memisahkan. Tembok membuat dengan jelas dapat dibedakan antara aku dengan dia. Antara kita dengan mereka. Tembok-tembok yang paling terkenal di dunia dibuat dengan tujuan yang demikian juga. Tembok China, dibuat untuk mencegah bangsa China dari musuh-musuh mereka. Tembok itu memang melindungi bangsa itu dari musuh selama beberapa abad. Tembok Hadrian, di Inggris, dibuat oleh bangsa Romawi untuk melindungi mereka dari serangan bangsa-bangsa Pitcish yang mendiami daerah Skotlandia pada masa itu.

Apapun tujuannya, dari apaun bentuknya, tembok memang dibuat untuk memisahkan. Dan hampir semua tembok dibuat karena adanya perasaan tidak aman dari yang membuatnya. (Jadi ingat, waktu kecil dulu, rumah kami gak pakai tembok sama sekali, malah gak pakai pagar juga. Semua terbuka, orang bisa lewat dari mana saja untuk masuk ke rumah. Tetapi rumah yang sekarang, ada temboknya. Whieww!!).

Tetapi tembok yang lebih sulit dimengerti adalah tembok yang tidak nampak. Orang tidak bisa melihat tembok itu, tetapi tembok itu ada di sana. Tanpa di sadari, orang sudah melanggar batas tembok itu. Tembok Atlantik, misalnya, bukanlah sebuah tembok konvensional. Tembok itu "dibuat" oleh pasukan NAZI Jerman dari rangkaian foxhole (lubang yang dijaga oleh pasukan pengintai dengan senjata mesin). Kalau ada tentara musuh datang, ia tidak akan melihat ada tembok penghalang, tetapi sebenarnya tembok itu ada di sana, menjadi pembatas antara kawan dengan lawan.

Tetapi yang paling berbahaya adalah tembok di dalam hati. Tembok prasangka, tembok curiga, tembok ekslusif. Tembok yang memisahkan antara aku dan kelompokku dengan dia, mereka dan kelompoknya. Ada beberapa perbedaan yang membuat adanya tembok itu; perbedaan fisik (suku, ras, warna kulit), perbedaan ekonomi (kaya, menengah, miskin), perbedaan intelektual (pintar-kurang pintar, perbedaan pandangan atau pendapat), perbedaan karena prasangka pribadi (suka dan tidak suka). Tembok ini tidak nampak, tetapi terbangun secara kuat di dalam hati.

Berbeda dengan tembok fisik yang dibuat seluas mungkin, (makanya kadangkala ada yang sampai bentrok gara-gara tembok pagar yang 'nyorok' ke tanah tetangga, atau negara yang bersitegang karena merasa tembok batas negara tetangga yang terlalu masuk ke wilayahnya --misalnya Indonesia dengan Malaysia), tembok di dalam hati justru dibangun sesempit mungkin. Kalau bisa, hanya ada satu orang saja, dirinya, yang ada di dalam tembok itu. Semua yang berbeda akan secara otomatis berada di luar tembok. Akibatnya, bukannya rasa aman yang muncul karena tembok hati itu, justru yang hadir adalah rasa semakin tidak aman, rasa kesepian, dan rasa terjepit oleh situasi tembok sendiri itu.

Ada orang bijak mengatakan, "Kalau engkau membangun tembok hati-hati agar engkau tidak terpenjara oleh tembok yang engkau bangun itu." Tembok hati cenderung memenjarakan seperti itu.

Ternyata bahwa tembok yang sudah dibangun, pada akhirnya akan menjadi penghalang. Setelah kondisi damai, maka tembok China hanya menjadi ikon sejarah, tembok Hadrian hanya menjadi onggokan batu, dan tembok Berlin bahkan sebagian besar sudah dirobohkan.

Jangan bertahan dengan tembok hati yang dibangun sendiri. Robohkan sebelum tembok itu menghimpit dan memenjarakan. Sebuah graffiti di tembok Berlin menuliskan demikian, "Irgendwann fällt jede Mauer" (Semua tembok akhirnya harus dirobohkan)



Thursday, October 4, 2007

Tambah Usia dan Bijaksana


Di sela-sela seru-serunya pembicaraan dalam meeting, tiba-tiba 'nature call' (kebelet ke belakang). Kalau sudah begitu, apapun topik pembicaraannya, bagaimanapun serunya, sulit untuk bisa tetap bertahan di dalam ruangan. Tidak ada lain yang bisa dilakukan kecuali angkat kaki dan permisi 'ke belakang.' (Apalagi, dokter menganjurkan agar tidak menahan dorongan untuk ke belakang yang demikian, karena bisa berakibat kurang baik bagi kesehatan .....:) )


Di 'belakang' (kalau 'ke belakang,' pasti tujuan akhirnya adalah 'di belakang'), ada cermin di dekat tempat cuci tangan. Sebagaimana normalnya naluri manusia, kalau ada cermin di depannya, dan tidak ada orang di sekitarnya, ada hasrat untuk bercermin dan agak berlama-lama. Tiba-tiba tangan saya secara reflek mengibas rambut saya, karena saya melihat ada sesuatu yang berkilat di sana. "Paling-paling debu cat tembok yang rontok," itu yang langsung terbersit. Tetapi ternyata bukan!! Jauh lebih buruk dari itu. Bagian yang mengkilat itu ternyata bagian yang berasal dari diri saya sendiri. Beberapa helai rambut saya sudah berubah warna menjadi putih!!!


Memang gejala-gejala sudah muncul cukup lama, dan bahkan kalau diperhatikan baik-baik, uban itu sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu. Saya biasa membayar anak-anak untuk mencari uban di kepala, dengan bayaran cepek untuk satu rambut. Rasanya harus segera diadakan penyesuaian harga, karena kalau sekarang mematok harga yang sama, mungkin gaji sebulan hanya cukup untuk membayar 'ganti rugi' pencabutan uban itu. Wahhh!!


Bukannya takut menjadi tua, tetapi takut nampak tua saja. (Apa bedanya? Pasti ada. Tapi nanti, dicari dulu perbedaannya). Ketuaan ternyata terjadi secara otomatis. Sekarang sudah tidak ada yang bisa menahan saya untuk masuk ke dalam masa tua. Waktu rasanya memaksa saya untuk semakin hari menjadi semakin tua.


Jadi ingat sebuah kata bijak, "menjadi tua itu otomatis, menjadi dewasa itu proses." Menjadi tua itu bukan sesuatu yang bisa diatur. Waktu masih kecil, kepengin banget cepet menjadi orang tua; rasanya enak banget, bisa ngatu-ngatur, gak usah masuk sekolah, gak usah bikin PR, bisa cari duit. Tetapi keinginan itu tetap gak bisa mempercepat diri menjadi orang tua. Sekarang, malah jadi kepengin banget kembali menjadi muda; rasanya enak banget, gak usah mikir duit, gak usah harus kerja (hehe....), gak usah cepet capek dan sakit. Tetapi keinginan itu juga tidak bisa menahan deras lajunya pertambahan usia.


Tetapi menjadi dewasa itu proses, kadangkala memerlukan waktu yang cukup panjang, dan tidak sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Meski demikian, rasanya cukup adil kalau kita mengharapkan bahwa pertumbuhan kedewasaan seseorang berbanding lurus dengan pertambahan usianya. Kalau itu yang terjadi, maka tidak akan muncul perkataan 'kekanak-kanakan.' Tentu saja, kata ini hanya berlaku untuk orang yang tua, tetapi belum dewasa. Tidak ada anak-anak yang kekanak-kanakan, karena mereka memang anak-anak yang selayaknya berlaku sebagai anak-anak. Orang tua yang bersikap seperti anak-anak, itulah yang kekanak-kanakan.


Anak-anak yang bersikap sebagai anak-anak, itu lucu dan menggemaskan. Tetapi orang tua yang masih bersikap seperti anak-anak, kekanak-kanakan, tidak ada lucunya sama sekali, dan bahkan cenderung menyebalkan. Dari orang tua diharapkan ada karakter kedewasaan yang muncul, karena itulah yang sewajarnya. Mengenai jumlah dan kualitasnya, tentu saja bisa dimaklumi kalau berbeda dengan yang lain. Tetapi, yang namanya pemakluman, pasti bukanlah sebuah kewajaran. Yang wajar, ketika orang bertambah usia (dengan ciri-ciri fisiknya), sepantasnya orang bertambah juga karakter kedewasaannya.



Cum essem parvulus loquebar ut parvulus sapiebam ut parvulus cogitabam ut parvulus quando factus sum vir evacuavi quae erant parvuli (Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu)




Monday, October 1, 2007

Mengucap Syukur Untuk Burung Garuda


Tadi malam anak-anak bertanya, "Pak, kok kita gak pasang bendera?" Wah, kagok juga menjawabnya. Memang agak sedikit (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada) yang pasang bendera pada tanggal 1 Oktober kemarin, jadinya kelupaan juga. Padahal, kemarin adalah Hari Kesaktian Pancasila, salah satu hari kebangsaan (atau mungkin lebih tepat disebut hari nasional, atau hari kebesaran, atau hari bersejarah.... gak tahu mana yang paling pas) bagi bangsa Indonesia. Tidak perlu menjelaskan apa yang diperingati di sana, karena selama puluhan tahun kita memperingatinya dan bahkan menghafalkan semua tokoh yang terlibat, termasuk sang "superhero" yang menyelamatkan bangsa dari kehancuran.

Ada seorang teman yang mengingatkan kita bahwa sebenarnya burung Garuda, lambang negara kita, merupakan salah satu bukti bahwa kita harus lebih bersyukur kepada Tuhan atas bangsa ini. Dia mengingatkan bahwa burung Garuda memiliki tampilan yang gagah perkasa dan berwibawa karena Tuhan mengatur kita untuk merdeka pada tanggal yang tepat. 17-08-1945. Hari kemerdekaan kita. Karena kita merdeka pada tanggal itu, maka burung Garuda kita nampak gagah perkasa, bulu sayap merentang berjumlah 17 (tanggal 17), bulu ekor menambah wibawa berjumlah 8 (bulan 08, Agustus), dan bulu dada (atau leher) yang sangat gagah berjumlah 45 (tahun 1945).

Teman saya mengatakan, untung kita merdeka pada tanggal itu. Coba kalau kita merdeka pada tanggal 1 bulan November tahun 1900, maka kita akan mendapatkan ini: burung Garuda yang sayapnya gundul sebelah, lalu sebelahnya hanya satu bulunya (karena bulu sayap memang cuma 1); bulu ekor kebanyakan dan tidak seimbang kanan-kirinya (karena 11, maka salah satu sisinya 6 dan sisi satunya 5); dan leher yang botak. Betapa mengenaskan!!!

Apapun kejadiannya, memang mengucap syukur itu sesuatu yang senantiasa perlu dilakukan. Dengan mengucap syukur kita akan memikirkan mengenai sisi positif dari apa yang terjadi. Memacu diri untuk mengucap syukur berarti kita memacu diri untuk mencari dan menemukan apa yang baik, positif dan berguna bagi kehidupan kita, dan bukannya berfokus kepada apa yang buruk, negatif dan tidak menyenangkan. Anda kesulitan menemukan sisi positif dari peristiwa yang terjadi? Mulailah mengatakan, "Tuhan saya bersyukur untuk ......" dan anda akan memeras otak anda untuk menemukan sisi positif itu.


In omnibus gratias agite haec enim voluntas Dei (Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah)






Sunday, September 30, 2007

Lagu Mbah Gesang Pernah Gak Laku (?)


"BUNGAWAN SORROOOO, RIWATAMU DURRUUU...." Itu bayangan saya ketika membayangkan seorang Jepang menyanyikan salah satu lagu karangan Gesang yang sangat terkenal itu. Penggalan lagu yang sangat familiar dengan kuping kita ini, dinyanyikan oleh Ny. Yokoyama Kazue. Siapa Ny. Yokoyama Kazue ini? Dia adalah Ketua Yayasan Peduli Gesang. Dia datang jauh-jauh dari Jepang untuk menunjukkan appresiasi kepada sang maestro yang sederhana itu. Dia bukan hanya sendirian, tetapi ia membawa serta sekitar 100 orang anggota Yayasan Peduli Gesang di Jepang.

Ups, lupa menyebutkan konteksnya. Hari ini, Gesang ulang tahun ke 90 tahun. Ia lahir di Solo tanggal 1 Oktober 1917. Sayangnya hanya sedikit informasi tentang awal karir Mbah Gesang ini, karena lebih mudah bagi saya mencari nama-nama pengarang bule yang sebenarnya gak terlalu terkenal, dibandingkan dengan nama Mbah Gesang. Mas Wiki hanya menulis 3 alinea tentang Mbah Gesang.

Gak apalah, yang penting dalam kenyataannya, lagu-lagu Mbah Gesang memang sangat luar biasa. Seandainya di jaman dulu ada MTV, kayaknya tidak aneh kalau lagu-lagu Mbah Gesang bisa mendapat MTV Award, atau Platinum atau yang sejenisnya. Lagu-lagu gubahannya yang sangat terkenal antara lain : Bengawan Solo, Jembatan Merah (Para Bonekmania pasti malu, lagu Jembatan Merah ditulis sama wong Solo hahaha.....), dan bagi penggemar Waljinah, lagu Caping Gunung merupakan salah satu lagu wajib era tahun 90-an (Kalau pas pulang dari Semarang ke Cilacap, naik bis ekonomi, kadang pengamen yang menyanyikan lagu ini sampai 3 atau 4 pengamen!!).

Selain itu, ada lagu-lagu lainnya, Luntur (pernah dengar?), Bumi Emas Tanah Airku (yang seperti apa lagunya, gak tahu juga), Dongengan (juga lagu yang asing), dan juga beberapa lagu lainnya, yang kalaupun ditulis di sini tidak akan ring any bell, asing bagi telinga kita. Bayangkan, bahkan pujangga sekaliber Mbah Gesang juga pernah menuliskan lagu, yang tidak 'meledak' di pasaran, alias (maaf) kurang laku. Bahkan dari daftar lagu karangan Mbah Gesang ini, yang kelihatannya menjadi hits hanya sebagian kecil saja.

Bisa dipastikan bahwa lagu Bengawan Solo, Jembatan Merah dan Caping Gunung, bukanlah lagu-lagu pertama yang diciptakan oleh Mbah Gesang. Artinya, ada beberapa lagu yang kasetnya jeblok di pasaran dan tidak menguntungkan. Kalau Mbah Gesang berhenti ketika menyadari bahwa (misalnya) lagu Pandanwangi tidak terlalu digemari, maka tidak akan muncul lagu Bengawan Solo dan Surabaya tidak akan memiliki kenangan yang romantis mengenai Jembatan Merah.

Failure, kegagalan dalam usaha awal, merupakan gunung yang sangat tinggi untuk dilewati. Banyak orang tidak berhasil melampauinya. Apalagi di jaman instan, dimana orang maunya begitu membuat sesuatu, langsung laku; begitu menulis lagu, maunya langsung jadi hits; begitu nulis buku, maunya langsung jadi best seller.

Jadi ingat perkataan Benjamin Franklin, "Do not fear failure, you will know mistakes. Continue to reach out." Karena pernah gagal, kita tahu mana yang salah dan mana yang benar, mana yang bisa berhasil dan mana yang akan gagal. Terus berjuang, itu yang menjadi rahasianya.

Wednesday, September 26, 2007

Si Lalat Naga


"Kemalo--kem, kinjeng itik, kinjeng kebo kem.." Itu sepenggal frase dari "Lagu Menangkap Capung" yang biasa dinyanyikan ketika aku masih kecil, di Cilacap sana. (Kok malah ingat kalau Cilacap itu sudah jadi jauuuuh banget).
Artinya tidak terlalu jelas, bahkan bagi penyanyinya sekalipun. Tetapi yang pasti, ada keyakinan bahwa ketika mendengar lagu itu, capung-capung akan tertarik dan berbondong-bondong mengantri untuk ditangkap. Walaupun sampai sekarang aku gak pernah bisa secara ilmiah membuktikan data statistik, tapi selama bertahun-tahun lagu itu tetap dinyanyikan. Belum ada data ilmiah menjelaskan, apa efek lagu itu kepada capung, dan berapa efektifitas lagu itu untuk menangkap capung.

Capung, atau dalam bahasa Inggrisnya dragonfly (lalat naga) memang sebuah fenomena yang menarik untuk diamati. (Hehe... kelihatan seperti pakar yang sudah lama mengamati, padahal pas kebetulan saja pergi ke Bali kunjungi tanah kantor, banyak capung di sana). Tapi bener, capung memang extraordinary creature, makhluk yang luar biasa.


Wikipedia menyebutkan kalau capung adalah serangga tercepat di dunia, dengan kecepatan terbang 60 km/h (pantesan waktu kecil kalau nguber capung sampai kringetan dan ngos-ngosan tetep gak ketangkep, coba kalau dari dulu baca Wikipedia, pasti gak sampai begitunya......).


Capung juga merupakan serangga penjelajah yang sangat memiliki jiwa petualang. Disebutkan bahwa dalam satu hari, dia bisa menjelajahi jarak sejauh 135 km dalam sehari. (Ini juga menjelaskan mengapa khayalan saya waktu kecil, bersahabat dengan capung, gak pernah kesampaian. Dasar dianya jalan-jalan terus sih, padahal kalau aku pergi ke seberang jalan saja sudah disuruh pulang ...)


Penglihatan capung juga luar biasa. Matanya memiliki 30.000 facet optik, yang membuat dia bisa melihat hampir 360 derajat. (Gugur sudah keyakinanku bahwa capung bisa ditangkap dengan mudah dari belakang, dia ternyata bisa melihat juga).


Ada lagi, si lalat naga ini memiliki kemampuan kamuflase yang sangat luar biasa. Makanya sulit untuk melihat keberadaannya, apalagi kalau dia sedang berdiam diri.

Saking luar biasanya, di Jepang (masih kata mas Wiki), capung dipakai untuk melambangkan keberanian, kekuatan dan kebahagiaan. Bahkan Jepang sering disebut juga sebagai Akitsushima (the Land of the Dragonflies).


Sesuatu yang sederhana, ternyata memiliki kompleksitas dan kehebatan yang luar biasa. Satu lesson, friends, kalau kita mau sungguh-sungguh belajar dan memperhatikan, maka bahkan dari yang nampaknya kecil dan sepele, banyak hal yang bisa kita pelajari. Jangan meremehkan sesuatu (atau seseorang) hanya karena ia kecil, sepele, dan nampaknya tidak berarti.


Sed quae stulta sunt mundi elegit Deus ut confundat sapientes et infirma mundi elegit Deus ut confundat fortia (Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat)

Tuesday, September 25, 2007

Pantai Perancak Juga Bagus



Sempat menjalani weekend di Bali. Bukan di Kuta, Nusa Dua, Denpasar, Sanur, Seminyak atau tempat-tempat yang eksotis lainnya. Weekend di Negara, dan jalan-jalannya ke Perancak, sekitar 10 km di selatan Negara. Di Negara mana? Masih di Negara Indonesia, tentu saja :) Negara adalah kota terbesar di Kabupaten Jembrana, dan letaknya sekitar 1 jam perjalanan (dengan bis atau mobil tentu saja) dari Gilimanuk.

Ahh.. kembali lagi ke pembicaraan mengenai Perancak. Sebuah desa kecil, gak ada di peta, tapi lumayan Ok untuk tempat istirahat sementara. Untuk jangka panjang, kayaknya sulit, karena jauh dari kota, jauh dari semua fasilitas, dan juga (ehm...) jauh dari mall. Hanya mereka yang suka menyepi yang betah di sana, yaitu yang suka dengan Bali yang asli, yang masih sunyi, belum ada hellomisto (sebutan orang lokal untuk turis berkulit putih. Kemungkinan besar dari kata "Hello Mister." Dasar lidah lokal!!). Bunyi musik angklung Bali (gak tahu apa nama Balinya) terdengar mengiringi hari yang dilalui sambil bersantai di bawah naungan Jineng (gazebo orang Bali yang super full angin).

Pantainya, bagus banget. Memang masih kotor karena belum ada yang mengurus dengan baik, tetapi sunset di sana memang bagus banget. Pantai yang landai sampai jauh sangat cocok untuk orang-orang yang gak bisa berenang kayak saya ini. Bagi mereka yang hobby cari kerang, wah di sini surganya. Kerang beraneka jenis, bentuk, ukuran, dan warna bertebaran di pantai Perancak, tinggal menunggu diambil.

See you di Perancak.

Thursday, September 20, 2007

Bersatu Kita Berani



Di WBL (Wisata Bahari Lamongan, lagi...), ada 3 bahana yang menantang mereka yang datang untuk menguji nyali, yaitu Planet Kaca, Istana Bajak Laut dan Rumah Sakit Hantu. Dari namanya saja memang sudah kedengaran menyeramkan. Dan memang bisa dikatakan tempat itu dibuat untuk nakut-nakutin.

Membayangkan bahwa masuk ke dalam salah satu wahana itu sendirian saja, mungkin sangat tidak menarik. Walaupun tahu bahwa itu hanya bahana dan semua yang ada "bohong-bohongan," tetapi karena suasananya memang dirancang untuk membuat takut, hati juga merasa ngeri ketika memasukinya.

Tetapi memasukinya secara bersama-sama dengan banyak orang lain membuat kengerian itu justru menjadi fun, menyenangkan. Memang masih tersisa rasa ngeri, sehingga tidak ada yang secara sukarela berjalan di depan, tetapi tidaklah sengeri kalau berjalan sendirian di sana. Karena tidak ada yang mengajukan diri, maka Mr. B selalu ditunjuk di depan, untuk membuka pintu supaya yang berjalan di belakang siap dengan semua kejutan yang ada di dalam wahana itu. Aku berjalan di tengah. Dan istriku? Gak usah dikomentari.

Kebersamaan memang membuat keberanian bertambah. Kebersamaan juga membuat sebuah persoalan yang nampaknya berat bisa menjadi terasa lebih ringan.

Orang Inggris dengan tepat mengatakan tentang adanya "strength in number" kekuatan di dalam jumlah yang banyak. Di dalam kebersamaan ada sinergi yang menggabungkan kekuatan, sehingga kekuatan yang kecil menjadi besar.

Apakah kita kuat? Tidak terlalu. Tetapi kalau digabungkan, akan tumbuh kekuatan yang lebih besar.


non sint in vobis scismata sitis autem perfecti in eodem sensu et in eadem sententia (jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya hendaklah kamu erat bersatu dan sehati sepikir)

Wednesday, September 19, 2007

OH NO, Aku Tidak Romantis!!!



Membaca sebuah kuis tentang seberapa romantisnya suami terhadap istri, aku jadi shock berat, karena aku termasuk dalam golongan suami yang tidak romantis. Masak iya sih, aku tidak romantis? Ada beberapa parameter yang menjadi ukuran romantis atau tidaknya seorang suami, dan hasil kuis yang saya isi, hasilnya hampir semua tidak memuaskan.


Say it with flower (Katakan dengan bunga). Ada pertanyaan, dalam 1 tahun terakhir, berapa kali saya memberikan bunga kepada istri? Aku mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir aku beli bunga untuk istriku. Tetapi itu sulit dijawab. Yang lebih mudah, seumur hidup, berapa kali aku memberikan bunga untuk istriku? Jawabannya


Speak out your love (Ungkapkan rasa cinta anda). Pertanyaanya: Dalam satu hari, berapa kali anda mengatakan "I love you" kepada istri anda? Ini juga sulit untuk dijawab. Semakin mencoba mengingat, semakin saya merasa bersalah. SAYA TIDAK INGAT KAPAN SAYA TERAKHIR KALI MENGATAKAN "I LOVE YOU" KEPADA ISTRI SAYA!!


Candle light dinner (Makan malam di luar berdua). Pertanyaanya: Dalam satu bulan, berapa kali makan malam di luar, berdua saja dengan istri? Nilai untuk pertanyaan ini juga buruk. Setiap kali kami makan di luar (yang tidak terlalu sering terjadi), selalu yang berangkat adalah serombongan besar. Saya, istri, dan dua orang anak bersama-sama. Tidak terlalu romantis, karena yang ada adalah persoalan pemesanan makanan, persoalan rebutan nyicip makanan sesamanya.


Love gift surprise (Kejutan hadiah cinta kasih). Kalau yang ini, saya pernah mencoba, paling tidak berusaha, tetapi hasilnya tidak terlalu memuaskan. Ukurannya kekecilan, harganya kemahalan, warnanya terlalu ramai. Tetap tidak terlalu baik.


Parah sekali, nilai romantisku jeblok. Tetapi apakah itu berarti aku tidak sayang istri? Gak bisa dibilang begitu. Kalau memang semua yang ada di kuis itu memang ukuran cinta kasih, aku pasti lakukan. Tapi aku bisa bayangkan bagaimana wajah istriku kalau aku beli bunga buat dia, kalau aku ajak dia makan malam berdua, kalau aku kasih kejutan lagi.


Untuk coba-coba jadi romantis, aku dapat ide satu kalimat. Mudah-mudahan cukup romantis. Ini buat istriku:


Kalau satu bintang jatuh setiap kali aku merasakan cinta kepadamu, nanti malam tidak akan ada lagi bintang di angkasa.


Romantis apa enggak ya?